Sejumlah petani menanam padi pada musim tanam kedua di Desa Jatimulya, Tegal, Jawa Tengah, Jumat (8/4). Menurut petani penanaman musim tanam kedua tersebut dilakukan sebelum memasuki musim kemarau sehingga dapat menghindari gagal panen akibat kekurangan pasokan air. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/foc/16.

Jakarta, Aktual.com — Para petani masih mengalami banyak masalah untuk mengakses permodalan dari lembaga keuangan formal. Padahal kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) sangatlah besar.

Dengan segudang masalah tersebut, mestinya pemerintah harus dapat memecahkan solusinya agar para petani jangan sampai terus terjebak oleh pinjaman dari rentenir.

Menurut Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Muliaman D Hadad, kendala terberat saat ini yang dihadapi oleh para petani adalah kesulitan untuk mengakses permodalan.

“Mereka susah untuk mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan formal dan akhirnya pinjam ke rentenir dengan bunga tinggi,” tutur dia saat acara seminar “Inovasi Rantai Nilai Sektor Agro dalam Mendukung Implementasi Financial Inclusion untuk Petani” di Balai Kartini, Jakarta, Senin (23/5).

Selama ini, dengan lahan pertanian yang relatif kecil dan juga tidak memiliki sertifikat, maka menyebabkan para petani sulit mendapatkan pembiayaan formal yang jauh lebih efisien dibandingkan para “penghisap” atau rentenir.

“Sebanyak 56 persen atau sekitar 14,6 juta rumah tangga usaha pertanian, hanya memiliki lahan kurang dari 0,5
hektar. Ini sangat menyedihkan. Karena luasan yang marjinal ini jauh di bawah skala keekonomian,” tutur Mukiaman yang juga Ketua DK Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini.

Berdasar data yang dikantongi ISEI, sektor agro atau pertanian memiliki peran cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor ini terhadap PDB Indonesia mencapai 13,6 persen, tertinggi kedua setelah sektor industri pengolahan yang kontribusinya terhadap PDB Indonesia mencapai 20,8 persen.

Sementara, lebih dari separuh PDB sektor industri pengolahan tersebut, adalah berbasis pertanian. “Selain itu, sektor pertanian juga merupakan penyerap terbesar tenaga kerja, yaitu sekitar 35 persen dari total tenaga kerja,” ujarnya.

Apabila sektor pertanian ini, kata dia, dipandang secara holistik dari hulu (atau on farm) hingga hilir (atau down stream industries) dalam suatu rantai nilai, maka kontribusinya terhadap PDB secara agregat lebih besar lagi. Mencapai sekitar 55 persen.

Lebih lanjut Muliaman menegaskan, jika rantai nilai-rantai nilai komoditas pertanian yang jenis dan jumlahnya banyak sekali di Indonesia tersebut, baik tanaman pangan, tanaman perkebunan, hortikultura, dan peternakan, dikembangkan dengan menggunakan teknologi dan dukungan sistem logistik modern, maka tidak hanya PDB Indonesia saja yang semakin meningkat.

“Kesejahteraan para petani dan pelaku ekonomi pedesaan lainnya pun akan semakin meningkat,” tegasnya.

Cuma sayangnya, keluh dia, dari total 26,1 juta rumah tangga usaha pertanian di seluruh Indonesia, 56 persen di antaranya (atau 14,6 juta rumah tangga usaha pertanian) memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.

Menurut Muliaman, dengan kesulitan permodalan itu akan menghambat petani untuk bisa menggunakan input-input pertanian yang berkualitas maupun untuk menerapkan teknologi baru. Apabila kendala-kendala itu tidak diatasi secara serius, maka produktivitas dan daya saing komoditas pertanian nasional akan mengalami stagnasi.

“Sehingga kesejahteraan rumah tangga usaha pertanian semakin sulit untuk ditingkatkan,” cetus dia.

Oleh karena itu, ISEI menyarankan, agar akses para petani terhadap sumber-sumber permodalan formal sudah saatnya untuk diperlebar. “Saat ini kita berterima kasih kepada pemerintah yang telah mengembangkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang juga dibuka aksesnya kepada petani. Tapi mestinya skema pembiayaan lainnya juga dipermudah,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan