Jakarta, Aktual.com – Mulutmu harimaumu, begitulah sebuah peribahasa yang bermakna bahwa setiap perkataan yang terlanjur terucap jika tidak dipikirkan terlebih dahulu dapat menimbulkan kerugian bagi diri sendiri.
Peribahasa itulah yang tepat untuk menggambarkan apa yang sedang dialami calon Gubernur DKI Jakarta yang juga merupakan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat ini.
Kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Ahok kini memasuki babak baru. Berkas kasus Basuki telah berada di Kejaksaan Agung usai penyerahan tahap pertama oleh penyidik Bareskrim pada Jumat 25 November 2016.
Kasus ini menjadi sorotan publik setelah pidatonya pada kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 yang diunggah di akun YouTube resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta banyak diperbincangkan di dunia maya.
Pada 6 Oktober 2016, seorang dosen dan mantan jurnalis, Buni Yani mengunggah cuplikan video pernyataan Basuki saat melakukan kunjungan kerja selaku Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu.
Dalam video itu, menurutnya, Basuki telah melakukan tindakan penistaan terhadap agama Islam dengan mengutip makna surat Al Maidah ayat 51.
Postingan video pidato Basuki itu yang diberi judul ‘Penistaan Terhadap Agama?’ menjadi viral di media sosial.
Video yang diunggah Buni Yani tersebut merupakan salah satu alasan yang membuat ratusan orang dari ormas Front Pembela Islam melakukan unjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta pada 14 Oktober. Para demonstran meminta Basuki ditangkap polisi.
Sejak video pidato mantan Bupati Belitung Timur itu diunggah hingga memasuki November, polisi mencatat setidaknya ada 11 laporan terkait kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Basuki.
Demonstrasi Kasus ini menyedot perhatian ratusan ribu orang yang kemudian bergabung untuk turun ke jalan dalam sebuah gerakan Aksi Bela Islam di Jakarta pada 4 November dengan tujuan untuk menuntut dilakukannya proses hukum terhadap Basuki. Gerakan masif ini juga didorong oleh sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut Basuki telah menistakan Islam.
Jumat 4 November, area sekitar Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Medan Merdeka Selatan menjadi lautan massa serba putih.
Aksi unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai itu menuntut pemerintah turun tangan agar proses hukum terhadap Basuki ditegakkan. Namun menjelang malam, saat sebagian besar peserta demonstrasi akan pulang, keadaan memanas dan demonstrasi berakhir ricuh.
Suasana di Jalan Merdeka Barat mencekam. Sebagian peserta aksi bertindak anarkis akibat provokasi sejumlah oknum di lapangan.
Sementara di tempat terpisah, kerusuhan terjadi di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara. Massa bentrok dengan aparat karena terjadi penjarahan di beberapa toko di daerah tersebut.
Atas desakan publik dan situasi politik yang memanas di Ibu Kota akhirnya Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan resmi selaku kepala negara. Presiden Jokowi meminta Kapolri Jendera Pol Tito Karnavian untuk memproses hukum Basuki secara terbuka dan transparan. Jokowi pun menegaskan tidak akan campur tangan terhadap masalah hukum mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.
Proses Hukum Bareskrim Polri akhirnya melakukan gelar perkara kasus Basuki pada 15 November. Meski para penyidik yang menangani kasus ini tidak bulat satu suara, akhirnya Basuki ditetapkan sebagai tersangka penista agama pada 16 November serta kasus ini ditingkatkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Basuki disangka melanggar Pasal 156-A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Polisi bekerja cepat menyelesaikan pemberkasan kasus Basuki. Tercatat 40 orang yang terdiri dari pelapor, saksi, sejumlah ahli dan seorang tersangka telah dimintai keterangan dalam penyidikan kasus ini.
Selanjutnya pada 25 November, penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menyerahkan berkas tahap pertama kasus Basuki ke Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Kejaksaan Agung.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmad mengatakan pihaknya telah menyiapkan tim yang terdiri atas 13 orang untuk meneliti berkas perkara Basuki. Tim tersebut terdiri atas 10 jaksa dari Kejagung, dua jaksa dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan seorang jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.
Berkas yang diserahkan yaitu setebal tiga bundel berkas perkara dan terdiri dari 826 lembar.
“Kami langsung menindaklanjuti, meneliti apa menurut ketentuan KUHP sudah memenuhi syarat untuk dibawa ke pengadilan, kalau iya maka akan diterbitkan P21,” ujarnya.
Indonesia adalah sebuah negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Setiap orang berhak mengungkapkan pendapatnya selama tidak melanggar hukum yang berlaku. Begitu juga setiap orang berkedudukan sama di dalam hukum, siapapun berhak untuk melaporkan orang lain atas sebuah dugaan pelanggaran terhadap hukum dan pihak yang dilaporkan harus menaati proses hukum yang berlaku.
Sang calon gubernur sudah berbesar hati dengan menerima statusnya sebagai tersangka dan siap menjalani proses hukum di pengadilan serta tidak mengajukan pra peradilan atas status tersangkanya. Kelanjutan kasus ini tentunya sangat dinanti baik oleh yang pro dan kontra terhadap Basuki.
Semua pihak perlu mengambil pelajaran besar dari adanya kasus ini. Bagi Basuki, gaya bicaranya yang ceplas-ceplos telah membawa permasalahan besar bagi dirinya.[Antara, Anita Permata Dewi]
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Andy Abdul Hamid