Saudaraku, masihkah radar hatimu mampu menangkap pancaran kearifan suara pendiri bangsamu?
Adalah Agus Salim yg sering mengingatkan bahwa “Memimpin adalah menderita” (Leiden is lijden).
Kredo Salim itu bak air jernih yg mengalir dari hulu sungai ketulusan zamannya. Segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”
Zaman sudah terjungkir. Suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, ”Memimpin adalah menikmati”. Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas derita rakyat. Demokrasi Indonesia seperto baju dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos).
Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat; bangun gedung dan fasilitas mewah agar para pembesar tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya aparat, partai, dan pemodal; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan.
Rakyat yang menderita tanpa gembala menanti juru selamat. Lantas, dari manakah sang juru selamat itu bisa diharapkan? Partai politik bukanlah solusi, melainkan sumber masalah. Partai gagal menjadi artikulator kepentingan publik. Hubungan politik digantikan hubungan konsumtif. Politik mengalami proses privatisasi. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku dan kami di atas kita.
Kepentingan oligarki penguasa-pemodal nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak punya sarana efektif untuk mengekspresikan diri. Saat politik terputus dari aspirasi kewargaan, pemimpin tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya.
Marilah berdoa menirukan munajat para penjelajah bahari di kesilaman. ”Ya Tuhan, selamatkan kami. Lautan di Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, sedang nakhoda dan awak kapal mencari selamat sendiri!”
Makrifat Pagi, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin