Jakarta, Aktual.com – Mundurnya Rustam Effendi sebagai Wali Kota Jakarta Utara, dianggap mengkonfirmasi buruknya penyerapan APBD DKI pada caturwulan pertama 2016.

Sebab, menurut Anggota Komisi A DPRD DKI, Inggard Joshua, seringnya pejabat di lingkungan pemprov yang dijadikan kambing hitam oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), membuat suasana birokrasi tak kondusif.

“Tidak kondusifnya birokrasi itu pasti mengganggu pembangunan,” ujarnya di Gedung DPRD DKI, Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (26/4).

Karenanya, politikus NasDem ini menyerukan, agar pejabat yang sakit hati dengan perlakuan Ahok tersebut, tidak mengeluh di belakang meja saja. Sebaiknya, meniru langkah Rustam itu.

“Jangan mempertahankan jabatan dengan batin yang tidak nyaman,” jelasnya.

Untuk diketahui, sedikitnya 15 pejabat DKI eselon IV telah mengajukan surat mundur selama Ahok memimpin ibukota. Sebelum Rustam, dua pejabat eselon II juga melakukan hal serupa.

Mereka adalah Haris Pindratno yang mundur sebagai kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI serta Tri Djoko Sri Margianto selaku kepala Dinas Tata Air DKI.

Adapun penyerapan APBD DKI 2016 hingga April ini, menurut data Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), baru mencapai 13,86 persen. Artinya, dari total Rp67,1 triliun, yang terealisasi baru Rp9,3 triliun.

Sementara itu, pengamat politik Emrus Sihombing menilai, banyaknya pejabat DKI yang mundur tersebut, menunjukkan Ahok haus kekuasaan. Pasalnya, selaku pemimpin, eks politikus tiga partai ini tidak berani bertanggung jawab bila ada anak buahnya yang salah.

“Seorang yang diakui pemimpin dalam suatu iman tertentu, seharusnya siap menanggung dosa pengikutnya,” ujarnya mencontohkan pada kesempatan terpisah.

Emrus yang juga akademisi Universitas Pelita Harapan (UPH) menambahkan, dalam teori komunikasi, seseorang yang menyampaikan sesuatu kepada pihak lain, dipastikan memiliki tujuan. Apalagi, pesan yang diutarakan langsung kepada khalayak ramai.

Disisi lain, setidaknya ada dua tujuan komunikasi pemimpin dalam suatu birokrasi pemerintahan. Yaitu, demi kepentingan masyarakat atau kekuasaan semata.

Bila tujuannya kekuasaan, yang terjadi adalah arogansi, lantarnan merasa lebih hebat dan memandang orang lain salah. Jika demi masyarakat, tentu pemimpin akan introspeksi diri, seandainya ada kekeliruan dalam kebijakan yang diambil.

“Teori ikan busuk itu dari kepala. Bukan dari buntut ke badan dan ke kepala. Jadi kalau ada buntut dan badanya bermasalah, pasti kepalanya yang busuk,” tandas direktur eksekutif Emrus Corner ini.

Artikel ini ditulis oleh: