Suroto | Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis
Kita terlalu sering mendengar slogan: koperasi adalah soko guru ekonomi Indonesia, koperasi adalah basis ekonomi rakyat, wujud nyata demokrasi ekonomi, bentuk kongkrit ekonomi gotong royong, intisari dari Pancasila. Tapi bagaimana dengan prakteknya?
Di lapangan, ternyata koperasi itu tak seindah pidato pejabat dan politisi. Praktek koperasi di Indonesia ternyata hanya permainan kata kata penuh glorifikasi.
Menurut Kementerian Koperasi dan UKM, pada tahun 2019 kontribusi koperasi terhadap ekonomi kita hanya 5,1 persen dari total Produk Domestik Bruto ( PDB). Menteri Koperasi dan UKM sejak tahun 2019 hingga tahun 2024 nanti hanya targetkan naik jadi 5,5 persen. Hanya 0,4 persen dalam 5 tahun.
Kontribusi PDB dari Koperasi tahun 2021 sendiri disampaikan Kemenkop dan UKM sebesar 5,1 persen. Namun menurut perhitungan seorang peneliti senior dari Kemenkop dan UKM, Profesor John Situmorang, kontribusinya terhadap PDB pada tahun 2020 hanya 0,0038 persen.
Padahal dari segi jumlah, Indonesia hari ini menjadi pemilik jumlah koperasi terbanyak di dunia. Jumlahnya adalah sebanyak 152 ribu ( Kemenkop dan UKM, 2022). Bahkan jika ditambah dengan badan hukum koperasi papan nama yang sampai hari ini belum juga dibubarkan oleh Menteri Koperasi UKM dan masih terus bergentayangan, angkanya jauh lebih banyak lagi.
Fakta lapangannya hari ini juga dapat kita lihat dari kehidupan rakyat banyak seperti ; petani, nelayan, peternak, petambak, perajin, industriawan, pedagang skala kecil atau super kecil di Indonesia itu didominasi oleh pengusaha individu informal. Mereka itu disebut sebagai pengusaha mikro. Pengusaha kelas gurem yang lemah. Bahkan ultra lemah dalam berbagai hal.
Para ekonom, birokrat, politisi menyebut mereka sebagai kelompok pengusaha yang lemah modalnya, lemah kemampuan pemasaranya, lemah sumberdaya manusianya, lemah dalam mengabsorsi teknologi. Saking serba lemahnya, mereka pernah dikategorikan oleh pemerintah sebagai pengusaha golongan ekonomi lemah, disingkat Pegel.
Jumlah mereka sampai hari ini adalah paling dominan. Dari rilis Kementerian Koperasi dan UKM mereka hingga saat ini mengisi 99,6 persen struktur pengusaha kita. Jumlahnya 64 juta usaha. Hampir sama dengan jumlah kartu keluarga. Sisanya, 0,4 adalah terdiri dari pengusaha kecil, menengah dan besar.
Usaha mikro ini terdiri dari para pengusaha industri rumahan seperti bakso, soto, cilok, warung makan, pedagang kelilingan dan lain lain yang dijajakan keliling gang ke gang atau di pinggir pinggir jalanan. Serta petani, peternak, perajin kelas gurem yang hidup sungkan mati segan.
Mereka itu adalah jenis usaha yang selalu dianggap sebagai perusak pemandangan dan jadi korban gusuran petugas Kamtibmas, keamanan dan ketertiban masyarakat. Untuk berjualan mereka harus bermain kucing kucingan dengan petugas.
Dikarenakan lemah modalnya, maka mereka akhirnya jadi korban para rentenir, tengkulak, atau pengijon yang memberikan pinjaman baik untuk penuhi kebutuhan modal atau penuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Membayar kebutuhan uang sekolah anak anak, biaya ketika sakit dan lain lain yang seringkali harus hadapi kesulitan ekonomi serius dan terpaksa beralih profesi jadi buruh serabutan, atau gadaikan lahan garap dan lain sebagainya.
Para rentenir itu berikan pinjaman bunga sebesar kurang lebih 20 hingga 40 persen. Tapi pada umumnya adalah 30 persen. Misalnya, mereka diberikan pinjaman sebesar 100 ribu rupiah, lalu dipotong 10 ribu rupiah di depan dan hanya terima uang riilnya 90 ribu rupiah. Mereka kemudian harus mengangsur setiap hari dengan beban bunga sebesar 20 persen. Makanya mereka terkenal dengan istilah bank Ngrolasi, alias menduabelaskan. Ada istilah istilah lain untuk menyebut mereka seperti bank uceg uceg, bank plecit, bank selamat pagi, penggalas dan lain lain.
Kelompok usaha mikro ini juga setiap tahun menjadi bagian dari program pembina(sa)an yang menempel di hampir semua instansi pemerintah. Para makelar program itu, setiap tahun menangguk untung besar dari pelaksanaan kebijakan program serta penyaluran subsidi. Tapi nasib usaha mikro itu tetap saja tak berubah dari hari ke hari.
Jadi koperasi sebagai soko guru itu hanya isapan jempol belaka. Hanya nyanyian di siang bolong pengantar sulit tidur. Jangankan soko guru, soko pinggiran saja tidak ada. Hanya slilit, remah sisa makanan yang menempel di sela gigi para pengusaha kapitalis yang memiliki kuasa akses dan bahkan mengatur arah kebijakan untuk mendapat banyak fasilitas dan kemudahan dari pemerintah.
Praktek Pengerdilan Koperasi
Masyarakat kita memang secara kultural dan struktural sengaja dijauhkan dari koperasi ini. Masyarakat sengaja diasingkan dari pemahaman koperasi. Secara regulasi dan kebijakan sengaja disubordinasi, didiskriminasi dan bahkan secara sistemik dieliminasi.
Kebijakan dunia pendidikan kita sudah menyingkirkan jauh jauh koperasi, bangun organisasi dan perusahaan demokratis yang diperintahkan Konstitusi ini. Sekolah dan kampus kampus sudah tidak mengajarkan koperasi. Sebagai ilmu pengetahuan, koperasi dan sistem demokrasi ekonomi itu dijauhkan dari dunia pendidikan kita. Koperasi diperlakukan tidak adil sejak sebelum masuk ke pikiran.
Koperasi dikerdilkan dan disingkirkan dari lalu lintas bisnis modern melalui berbagai produk regulasi dan kebijakan. Satu contoh saja adalah regulasi tentang BUMN ( Badan Usaha Milik Negara ) misalnya. Di UU ini tak memberikan opsi bagi sebuah kepemilikan BUMN menjadi badan hukum koperasi. Di UU BUMN ini semua “diwajibkan berbadan hukum perseroan”.
Sehingga imajinasi kita untuk melihat koperasi di sektor layanan publik langsung ditutup rapat rapat. Padahal, dalam prakteknya di banyak negara, perusahaan listrik, rumah sakit, telekomunikasi dan lain lain itu banyak yang diusahakan lewat jalan demokrasi kepemilikan langsung oleh masyarakat melalui sistem koperasi. Sebut misalnya koperasi listrik National Rural Elextricity Cooperative Association ( NRECA) yang beroperasi di seluruh negara Amerika Serikat, atau koperasi rumah sakit Group Health Cooperative ( GHC) yang menjadi jaringan rumah sakit terbesar di kota Washington, Amerika Serikat.
Itu baru sebagian tentang kasus diskriminasi dari regulasi koperasi. Ada banyak regulasi lain yang diskriminatif seperti UU Penanaman Modal yang mewajibkan badan hukum perusahaan asing sebagai perseroan. UU Rumah Sakit yang mewajibkan rumah sakit privat wajib berbadan hukum perseroan dan lain lain.
Koperasi secara kebijakan bahkan secara sistematis dan terstruktur dibunuh oleh pemerintah sendiri. Sudah tahu bahwa faktanya koperasi kita kontribusinya dari usaha sektoralnya masih didominasi sektor layanan keuangan, tapi sengaja berikan banyak hak istimewa kepada bank namun tidak untuk koperasi.
Contohnya, bank dibangun infrastrukturnya untuk berikan jaminan simpanan dan pinjaman, diberikan modal penyertaan dan dana penempatan, diberikan subsidi dari sumber APBN untuk menurunkan suku bunga pinjaman. Dan jika bangkrut, mereka juga ditalangi (bailout). Perbankan kapitalis diberikan semua fasilitas, dan tidak untuk koperasi.
Anak anak muda yang kreatif dan produktif juga dihambat untuk memilih jalur koperasi sebagai opsi pengembangan bisnis mereka. Untuk mendirikan perseroan dipermudah dalam pendiriannya yang cukup dua orang. Sementara koperasi harus dipersulit dengan hanya boleh didirikan oleh 9 orang. Anak anak muda yang saat ini sedang gandrung terhadap bisnis sosial (social enterprises) mesti terpaksa memilih badan hukum perseroan sebagai pilihan untuk mempermudahnya.
Pendiri republik Indonesia ini, Bapak koperasi Bung Hatta sebetulnya tidak salah ketika beliau berharap koperasi itu jadi soko guru ekonomi. Sebab beliau tahu persis, kalau koperasi jadi soko guru itu maka ekonomi kita itu akan menjadi adil dan merata. Rakyat banyak yang makmur sentosa tidak seperti saat ini.
Kenapa demikian? Karena koperasi itu pada dasarnya suatu sistem yang memberikan kesempatan semua orang jadi pemilik dan pengontrol perusahaan.
Sebagai pemilik, mereka akan mendapatkan bagian keuntunganya. Tidak hanya dikangkangi segelintir orang, baik itu elit kaya yang berkongkalikong dengan elit penguasa seperti saat ini. Masyarakat dapat ikut tentukan keputusan perusahaan termasuk ikut memilih siapa yang jadi komisaris perusahaan dan direksi. Tidak seperti mekanisme kerja korporasi BUMN yang ultra feodal seperti saat ini.
Belajar dari Dunia
Selama ini, di berbagai belahan dunia koperasi itu dapat berkembang dan berjalan efektif menjadi alternatif lain dari praktek korporat kapitalis yang hanya semata mengejar keuntungan dan abaikan persoalan kemanusiaan dan lingkungan. Mereka juga telah berhasil memberikan jawaban jawaban serius bagaimana menciptakan keadilan ekonomi bagi rakyat banyak.
Di Singapura, penulis juga lihat dengan mata kepala sendiri, bahwa jaringan toko terbesar disana itu koperasi. Jaringan toko ritel NTUC Fair Price dan asuransi terbesar NTUC Income itu bentuknya koperasi, dan dapat berjalan sebagai sebuah perusahaan raksasa yang dimiliki rakyat langsung dan kuasai pangsa pasar ritel hingga 63 persen.
Tak hanya di Singapura, di Amerika Serikat separuh dari penduduknya adalah anggota koperasi. Mereka hasilkan koperasi kelas dunia dan sumbang 26 persen atau 77 koperasi dari 300 koperasi dunia yang dirilis oleh International Cooperative Alliance ( ICA) pada tahun 2020.
Koperasi di banyak negara maju, betul betul jadi raja dalam mengelola ekonomi domestik mereka. Dari layanan kebutuhan sehari hari, sektor perbankan, pertanian, perkebunan hingga layanan publik.
Apalagi negara negara Eropa dan Canada yang merupakan negeri kampiun koperasi. Di Sweden itu, setiap sudut kotanya penuh koperasi. Di Sweden, koperasi konsumen COOP KONSUM masif ada di tiap tiap sudut kota.
Di Spanyol, cabang olah raga dan termasuk seperti Barcelona Football Club itu adalah milik fans mereka yang jumlahnya hingga 170 an ribu orang. Perusahaan Koperasi Mondragon jadi perusahaan terbesar di Basque, negara bagian utara Spanyol.
Di Kanada, gedung gedung megah itu adalah bank koperasi seperti Desjardins, Vancity, Coas Capital dan lain lain. Koperasi pertanianya La Federe di kota Quebec, Canada benar benar mampu menendang korporat kapitalis mafia kartel pangan disana.
Negara negara itu adalah penyumbang 300 koperasi besar dunia dengan total kekayaan 300 koperasi itu sama dengan total PDB negara Spanyol. Sementara tak satupun dalam laporan 300 koperasi besar dunia, ada koperasi berasal dari Indonesia.
Ketika koperasi berkembang dimana mana, sebetulnya ekonomi akan kuat. Karena rakyat akan tak sulit mendapatkan pekerjaan, hasilkan pendapatan dan berbagi kekayaan secara adil. Lingkungan alam juga akan semakin lestari karena rakyat semua terbuka menjadi pemilik perusahaan. Tidak membuat segelintir orang menjadi kaya raya dan rakyat banyak menjadi miskin dan sengsara seperti di Indonesia saat ini.
Menurut laporan lembaga riset bereputasi tinggi Suissie Credit, Rasio Gini Kekayaan alias perhitungan tingkat kesenjangan ekonomi kita itu sudah keterlaluan. Tahun 2021 dilaporkan angkanya 0,77. Ini hitungannya dari skala angka 0 hingga 1. Jadi kalau angka 1 itu artinya kekayaan itu hanya menumpuk pada satu orang. Kita semua tidak punya sama sekali.
Dari segi pemilikan kekayaan, kesenjanganya jika dibandingkan dengan rata rata dunia terlalu jauh. Orang dewasa Indonesia yang punya kekayaan di bawah 150 juta itu jumlahnya 82 persen. Rata rata dunia hanya 58 persen. Mereka yang kekayaannya Rp 1.5 milyar lebih hanya 1.1 persen. Rata rata dunia adalah 10.6 persen. Sungguh timpang.
Mereka yang kaya itu jika dibandingkan dengan rata rata dunia sudah keterlaluan kesenjangannya. Mereka yang kaya di Indonesia ini ultra kaya dan yang miskin keterlaluan miskinnya.
Angka Rasio Gini Kekayaan sudah 0,77 itu berarti sangat keterlaluan. Dan ini terbukti dari laporan lembaga Oxfarm tahun 2020 yang laporkan 4 anggota keluarga di Indonesia itu kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat kita dari yang termiskin.
Koperasi bagi masa depan kita itu begitu sangat penting untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Koperasi itu penting untuk selamatkan dunia dari kerusakan, dan juga eksploitasi kemanusiaan. Untuk itu, dengan segala daya dan upaya harus kita lakukan di tengah gencetan praktek ekonomi kapitalistik yang dipelihara pemerintah hari ini. Kita harus bangun praktek praktek terbaik koperasi di semua sektor dimana mana. Dimulai dari rumah, kampung kampung dan kantor kantor. Selain tentu berkonsolidasi bersama untuk melawan praktek inkonstitusional dari berbagai regulasi dan kebijakan yang telah menggencet koperasi kita.
Sistem ekonomi Konstitusi kita adalah demokrasi ekonomi dan koperasi adalah wujudnya. Jadi Jadi kita tidak musti menunggu: do not just talk, just act !. Jangan hanya dibicarakan, tapi harus dipraktekkan. Kecuali kita memang tak inginkan koperasi sebagai wujud demokrasi ekonomi.
Artikel ini ditulis oleh:
Megel Jekson