Paris, Aktual.com – Warga Muslim Prancis, mengaku takut dengan dampak yang ditimbulkan, pascapenyerangan di Paris oleh orang yang diklamim pemerintah Prancis sebagai anggota Islam radikal.

“Ketika anda terlihat seperti Muslim, itu sulit. Cara orang-orang memandang kami akan berubah dan tidak lebih baik… Kadang-kadang lebih baik disangka sebagai Yahudi dan bukan Muslim, karena itu akan mengurangi masalah,” kata Marjan Fouladvind, seorang mahasiswa program doktor di Paris, seperti diberitakan Reuters, Senin (16/11).

Kekerasan mengejutkan yang terjadi pada Jumat (13/11), saat kelompok milisi bersenjata membunuh 129 orang dan melukai 352 orang lainnya dalam serangkaian serangan di gedung konser, bar-bar, dan stadion, segera menjadikan negara dengan minoritas Muslim sebagai sorotan.

Para pemimpin masyarakat Muslim mengecam pembantaian tersebut dan politikus dengan jelas menyalahkan kelompok radikal Negara Islam (IS) sebagai pelaku serangan.

Umat yang meninggalkan Masjid Agung Paris setelah salat zuhur juga khawatir bahwa, kalangan Muslim di Prancis akan disalahkan atas konflik yang berakar di Timur Tengah itu.

“Cerita ini mengotori Islam dan mencemari Muslim. Banyak masalah di sana yang seharusnya tidak mereka bawa ke sini,” kata seorang pria bernama Soufiane.

Sebanyak lima juta populasi Muslim di Prancis memandang betapa mudahnya menghubungkan serangan di Paris dengan serangan di kantor majalah satir Charlie Hebdo dan sebuah swalayan Yahudi yang menewaskan 17 orang pada Januari.

Dalam beberapa minggu berikutnya, tindakan anti-Muslim seperti penggambaran grafiti di masjid-masjid dan penghinaan terhadap wanita-wanita berkerudung menjadi marak. Observatorium Nasional Islamophobia mencatat peningkatan sebesar 281 persen insiden pada kuartal pertama 2015 dibandingan kuartal pertama 2014.

Sebuah situs web Muslim, Saphirnews, melaporkan bahwa Muslim Prancis kembali menjadi korban tambahan terorisme. Pada Sabtu (14/11) pagi, sebuah salib berwarna merah darah dilukis di dinding sebuah masjid di sebelah timur Paris.

Slogan “Prancis, bangkit!” juga dilukis di dinding sebuah masjid selatan Prancis dan “Kematian bagi Muslim” tertulis di dinding sekitar Evreux sebelah utara Paris, lapor koran Le Parisien.

“Kami tidak mengerti apa yang terjadi… Ini hanya semakin memundurkan kami,” kata Ismael Snoussi, seorang umat di masjid Luce, sebuah kota di luar Chartres dimana salah satu penyerang tragedi Jumat lalu, tumbuh dan dibesarkan.

Malika Chafi, yang bekerja untuk sebuah LSM, marah ketika ditanya apa yang dirasakannya sebagai seorang Muslim terkait serangan tersebut.

“Bagi ini, sangat tidak masuk akal mengatakan ‘sebagai seorang Muslim’. Saya juga seorang pemungut suara, konsumen, ibu, dan seseorang yang mencintai musik klasik. Saya terkejut bukan karena seorang Muslim, tetapi sebagai seorang warga negara,” katanya di halaman Masjid Agung.

“Ini bukan masalah Muslim, ini masalah polisi dan terorisme,” Chafi menambahkan.

Nabil, staf di stadion Stade de France dimana dua pelaku meledakkan bom bunuh diri, menolak menyebut para penyerang itu “jihadis” atau “Islamis”.

“Mereka teroris. Saya hanya berjarak 100 meter dari ledakan pertama dan sebuah bom tidak akan membuat perbedaan antara Muslim dan Buddha. Itu tetap kejahatan,” katanya.

Muslim di Prancis juga warga negara sama seperti orang lain, kata dia, dan tidak harus memberikan pembenaran atas diri sendiri ketika serangan seperti itu terjadi.

Ia juga mengkritik politikus Prancis.

“Para politikus punya banyak pekerjaan rumah dengan masyarakat Muslim. Islamophobia muncul dan harus ditangani secara institusional oleh para politikus,” ujar Nabil.

Artikel ini ditulis oleh: