Di kalangan para peminat tasawuf dan studi tentang sufisme di Indonesia, nama ulama yang satu ini sudah tidak asing lagi. Dialah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. Imam Besar Masjid Negara Istiqlal sejak 2016 ini pernah menjabat Wakil Menteri Agama RI (2011-2014).
Lahir di Ujung-Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959, Nasaruddin juga adalah pendiri organisasi lintas agama Masyarakat Dialog antar Umat Beragama. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam di Departemen Agama/Kementerian Agama RI.
Nasarudin menyelesaikan pendidikan SD Negeri di Ujung-Bone (1970), Madrasah Ibtida’iyah di Pesantren As’adiyah Sengkang (1971), PGA di pesantren yang sama (1976), dan Sarjana Teladan di Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang (1984).
Ia menyelesaikan pendidikan S2 dengan gelar Magister (1992) dan menjadi Alumnus Terbaik Program S3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan disertasi tentang “Perspektif Jender Dalam al-Qur’an” (1993-1998).
Selama studi kedoktorannya, dia sempat menjadi mahasiswa program PhD (visiting student) di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994), dan juga menjalani program serupa di Universitas Leiden, Belanda (1994-1995). Nasaruddin menjadi Guru Besar dalam bidang Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 12 Januari 2002.
Nasaruddin adalah sosok yang sangat penyabar. Ia tidak banyak bicara. Jika tidak menyukai sesuatu, ia diam sehingga staf bawahannya tahu bahwa ia sedang tidak berkenan terhadap sesuatu. Ia juga terbiasa puasa Senin-Kamis, sekalipun dalam perjalanan yang sangat jauh.
Nasaruddin adalah ulama tasawuf. Sayangnya, tidak banyak orang memahami alur berpikir kalangan sufi. Orang yang tak memahaminya kerap menudingnya sesat tanpa landasan yang kokoh. Padahal ia dekat dengan seluruh ulama. Baik dengan ulama Timur Tengah seperti Wahbah Zuhaili, Yusuf al-Qaradhawy, maupun ulama Nusantara.
Ada juga kalangan yang menuduhnya dengan tuduhan ngawur, sebagai pengusung ajaran Islam liberal. “Saya disebut-sebut sebagai bagian dari Jaringan Islam Liberal (JIL), padahal saya sama sekali tak punya kaitan dengan kelompok tersebut,” ujar Nasarudin dalam salah satu ceramahnya.
Tapi Nasaruddin tak pernah memusingkan hal-hal yang remeh. Ia membiarkan tudingan itu menjadi urusan para penuduh dengan Tuhan. Dalam beberapa kesempatan, Nasaruddin juga sering mengkritik JIL yang dianggapnya terlalu berpikir bebas.
Menurut Nasaruddin, umat ini lemah karena terpecah, dan ia tak setuju dengan liberalisme dalam pemikiran Islam. Katanya, Islam lemah karena terpecah dalam titik-titik ekstrem. Baik yang liberal maupun yang jumud dalam memahami agama.
Mengenai tasawuf yang banyak digemari kelas menengah baru Indonesia, Nasaruddin berpendapat, ini pada dasarnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat, meskipun sebatas formal. Dan secara ekonomi, mereka sudah melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder.
Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk melalui jalur agama. Maka mereka tertarik memahami agama lebih dari sekadar hal yang formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama. Sisi itu adalah kajian spiritual atau tasawuf.
Mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih, yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di batin mereka.
Nasaruddin Umar terlibat aktif dalam berbagai kegiatan dakwah Islam. Selama di mobil, sepanjang perjalanan untuk mengisi ceramah atau agenda-agenda di berbagai tempat, menurut cerita mantan stafnya, hal yang biasa dilakukan Nasaruddin adalah membaca al-Quran dengan mushaf ukuran saku.
Terkadang ia mendengarkan murattal As-Sudais di TV mobil, berdzikir sambil memilin biji-biji tasbih, atau menerima telepon. Kitab-kitab turats yang ada di rumahnya lengkap dari berbagai golongan dan madzhab, sehingga menjadikan pemikiran Nasaruddin amat kaya dan meluas. Belum lagi kitab-kitab kontemporer.
Ia biasa bangun sekitar pukul 02.00 WIB untuk shalat Tahajjud, dan hanya tidur tiga jam setiap harinya. Seusai shalat Tahajjud menjelang Subuh, ia sempatkan menulis sekitar 10 halaman di kamar depan, yang dindingnya tak terlihat karena dipenuhi buku.
Jika sedang bermalam di kediaman, Nasaruddin selalu memimpin shalat Subuh, yang dilanjutkan dengan Kultum Subuh di Masjid Baitul Makmur, 500 meter dari kediamannya di Ampera, Jakarta Selatan.
Dia adalah penulis dari 12 buku yang di antaranya “Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran” (Paramadina, 1999). Isinya menjabarkan hasil penelitian mengenai bias gender dalam Quran. ***
Artikel ini ditulis oleh: