Jakarta, Aktual.com — Ekonomi syariah menjadi wacana yang telah demikian lama di Indonesia sebagai negara yang menyebut diri negeri mayoritas Muslim terbesar dunia.

Aturan dan kebijakan ekonomi syariah bahkan sempat jalan di tempat pada beberapa dekade lalu. Namun kini masa depan ekonomi syariah terjanji kian cerah di Tanah Air.

Apalagi ketika pemerintah kembali mengumumkan paket kebijakan jilid V untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dalam negeri bisa lebih baik lagi.

Dalam paket kebijakan ke lima pemerintah mengeluarkan tiga peraturan. Aturan pertama terkait revaluasi aset, ke dua terkait pajak berganda, dan ke tiga menyangkut hal-hal yang berkaitan deregulasi perbankan syariah.

Aturan ke tiga itu menjadi angin segar bagi ekonomi syariah di Indonesia karena terkait langsung dengan deregulasi perbankan syariah.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad mengatakan, saat ini peraturan perbankan syariah menjadi perhatian pemerintah karena dari empat paket yang dikeluarkan sebelumnya, industri keuangan syariah belum tersentuh.

Dalam peraturan perbankan syariah sendiri ada dua hal yakni pertama terkait relaksasi produk perbankan syariah.

“Kami ingin menyederhanakan perizinan produk perbankan syariah. Jadi perbankan syariah yang ingin mengeluarkan produk baru tinggal lapor saja. Selain itu kita juga atur produk pegadaian syariah,” katanya.

Selain itu, peraturan terkait dengan penyederhanaan pembukaan jaringan kantor perbankan termasuk jaringan kantor perbankan konvensional yang bisa digunakan oleh perbankan syariah.

“Ini bisa mendorong efisiensi sehingga mendorong suku bunga bisa lebih murah,” kata Muliaman.

Hal Baru Ekonomi syariah di Indonesia bisa dikatakan hal baru mengingat Indonesia baru mengenal konsep tersebut di era awal 1990-an.

Maka meskipun potensinya masih terbuka lebar tetapi pertumbuhannya belum sebesar yang diharapkan.

Salah satu langkah yang diperlukan untuk memajukan ekonomi syariah di Tanah Air tidak lain dengan memperkuat political will dari para pembuat kebijakan khususnya dalam soal keberpihakan pemerintah terhadap ekonomi syariah.

Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Imron Mawardi mengatakan keberpihakan pemerintah untuk mendorong ekonomi syariah adalah hal yang sangat penting.

Selama ini, menurut Imron, yang terjadi pada konsep ekonomi syariah cenderung pelaksanaan yang buttom-up, yaitu masyarakat menginginkan sistem syariah, baru kemudian direspon oleh pemerintah.

“Kalau kita mengharapkan secara buttom-up, ini akan lama sekali. Karena siapa yang akan mendanai sosialisasi dan sebagainya,” kata dia.

Namun jika hal itu bisa berbalik menjadi top-down, pemerintah memberikan stimulus kepada masyarakat, ia yakin pertumbuhannya akan lebih cepat seperti halnya di Malaysia.

Ia mencontohkan pemerintah Malaysia melalui perbankannya mengedepankan penerapan sistem syariah kepada para nasabah sebelum menawarkan produk konvensionalnya.

Sayangnya di Indonesia, perbankan bahkan yang memiliki unit syariah sekalipun masih lebih dahulu mengedepankan produk konvensionalnya.

Jika nasabah menginginkan sistem syariah baru perbankan memenuhi dan mengarahkannya.

“Padahal kita merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar yang seharusnya maju dalam sistem ekonomi syariahnya, sehingga Pemerintah punya kewajiban untuk memfasilitasi umat muslim bertransaksi sesuai syariah,” kata Dosen FEB Universitas Airlangga ini.

Ia menyoroti pentingnya keberpihakan pemerintah demi kemajuan ekonomi syariah di Indonesia.

Empat Langkah Merespon hal itu Bank Indonesia (BI) menyiapkan setidaknya empat langkah untuk mendukung percepatan pengembangan ekonomi syariah.

Hal itu bertujuan agar produk ekonomi syariah semakin diminati oleh masyarakat dan bisa memberikan kontribusi terhadap kinerja perekonomian nasional.

“Kita harus melakukan langkah-langkah kolektif yang bisa mendukung ekonomi dan keuangan syariah untuk berkembang dan menjadi pilar global,” kata Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo.

Ia menjelaskan, keempat langkah tersebut antara lain menyiapkan regulasi dan kebijakan yang mendukung keuangan dan ekonomi syariah serta meningkatkan pengetahuan mengenai ekonomi dan keuangan syariah bagi perbankan, pelaku usaha dan sektor riil.

“Perlu ada regulasi yang pro ekonomi keuangan syariah dan perlu ada edukasi untuk menutup knowledge gap bagi ekonomi syariah. Mari bersama-sama menutup gap ini untuk mengembangkan ekonomi syariah,” katanya.

Selain itu, langkah lainnya adalah menyiapkan model-model pembiayaan ekonomi dan keuangan syariah serta menyelenggarakan berbagai inisiatif internasional seperti core principles zakat dan wakaf yang akan diluncurkan pada 2015.

Perry menambahkan model bisnis ekonomi dan keuangan syariah yang berbasis komunitas merupakan model yang tepat dalam pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Termasuk untuk menangkal penetrasi UMKM dari luar yang semakin besar dengan adanya liberalisasi ASEAN.

“Ini merupakan tren baru model business, tidak hanya untuk ekonomi syariah tapi juga di Indonesia. Pengembangan itu bisa mendukung UKM ekonomi syariah yang basisnya komunitas dari pesantren atau LSM yang berkomitmen memuat kolektif modal usaha,” katanya.

Di samping itu para pembuat kebijakan berkewajiban untuk terus mengedukasi dan meningkatkan pemahaman pengusaha terhadap skema keuangan berbasis syariah.

Peran pengusaha sebagai pelaku ekonomi terdepan sangat besar terhadap perkembangan ekonomi syariah karena mereka yang akan langsung berkiprah dan terlibat dalam meningkatkan kinerja perekonomian nasional.

Ke depan diharapkan ada harmonisasi kebijakan fiskal pemerintah dengan jasa keuangan syariah.

Keduanya juga harus tetap menjaga suasana perekonomian yang kondusif di samping juga perlunya edukasi pemahaman masyarakat tentang produk lembaga keuangan syariah melalui komunitas dan asosiasi pengusaha.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan