Jakarta, Aktual.com — Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra berpendapat, keputusan direvisi atau tidaknya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berada di tangan Presiden Joko Widodo.
“Satu-satunya harapan (pembatalan revisi UU KPK) berada pada Presiden Jokowi,” kata Saldi dalam testimoninya ke pimpinan KPK, Jumat (19/2).
Dia memaparkan, ada tiga langkah yang harus dilakukan Jokowi demi pembatalan revisi UU tersebut. Pertama, Presiden harus bisa mengkonsolidasikan partai-partai pendukung pemerintah.
Pasalnya, semua fraksi di DPR yang mendukung adanya revisi UU KPK adalah partai-partai pengusung Jokowi di Pemilihan Presiden 2014 lalu.
Kedua, Jokowi harus memastikan bahwa Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly punya pemikiran yang sama dengan Presiden. Kalau tidak, patut dipertanyakan arah Menteri Yasonna sendiri.
“Presiden melakukan konsolidasi kesemua partai pendukung pemerintah di DPR. Kedua, Jokowi harus memastikan Menteri yang mewakili di DPR benar-benar sejalan dengan sikap Presiden. Ketiga, Presiden harus menolak memberikan persetujuan bersama,” papar Saldi.
Sengakrut revisi UU KPK sebetulnya sudah ada jalan tengahnya. Solusinya adalah adanya Gentlement Agreement antara pemerintah dengan pimpinan KPK saat dipimpin Taufiequrrachman Ruki sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua.
Kesepakatan itu menyebut bahwa, pemerintah sepakat memasukan Pasal yang memperbolehkan KPK mengangkat penyelidik dan penyidik independen. Joko Widodo Cs juga menerima penolakan KPK terkait penyadapan yang dilakukan atas izin Pengadilan.
Ketiga, pembentukan Dewan Etik. Keempat, ada pemberian kewenangan baru yaitu penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu