Mendengar Puisi Sukma, Sontak membawa saya ke masa silam. Ketika bapaknya, Bung Karno remaja, mondok di rumah bapak HOS Cokroaminoto. Tokoh sentral dan motor penggerak Sarikat Islam.

Ulama dan aktivis pergerakan Islam yang waskita dan punya intuisi tajam ini berjasa besar dalam mendidik dan membentuk karakter Sukarno.

Bukan itu saja. Kalau kita resapi ceramah Dr Haekal. Pak Cokro kerapkali mempertemukan bung Karno dengan beberapa Ulama. Kiai dan beberapa habaib. Untuk berguru dan berkhidmat. Mulai dari Habib Ali bin Hussein al Habsi Kwitang hingga Kiai Ali Cirebon. Mulai dari KH Achmad Dahlan hingga Haji Agus Salim.

Jikalau menghayati sekelumit sejarah bapaknya di kala muda, Mbak Sukma semestinya tidak boleh sinis pada Islam berikut atribut Islam yang menyertainya. Apalagi mengandung celaan dan nyinyir. Apalagi di kemudian hari Bung Karno kerap menegaskan bahwa seorang nasionalis sejati pasti dia orang religius. Dan orang yang religius pastinya juga seorang nasionalis.

Anak biologis seorang tokoh memang jarang yang bisa mengikuti jejak orang tuanya. KIarena masing-mnasing orang punya legenda dirinya masing-masing. Namun saya sulit buat menghargai anak anak biologis para tokoh nasional yang tidak menghayati sejarah hidup dan cita cita orang tuanya. Setidaknya anak anak biologis harus mencari tahu siapa dan melalui sarana apa orang tuanya jadi orang yang berhasil dan punya reputasi terpuji di bidangnya. Baik itu di ranah politik, ekonomi, kemiliteran, kebudayaan maupun dunia usaha.

Kalau saja seorang Sukmawati mau meluangkan waktunya untuk membaca otobiografi bapaknya dengan hati terbuka, mungkin dia akan tersadar betapa besar andil para Kiai Ulama ke dalam jiwa dan pikiran Sukarno. Kita kerap dengar bagaimana Bung Karno begitu takzim dan berkhidmat pada Kyai Abubakar Aceh, Kiai Haji Maksum Lasem-Jawa Timur, maupun seorang pemnuka thariqah Naqsabandiah Dr Qadirun Yahya. Nama-nama yang saya sebut tadi, merupakan para ulama yang mumpuni tidak saja di tataran syariat Islam, melainkan juga di tataran yang sudah menguasai ilmu Hakekat dan Makrifat.

Jikalau Sukmawati dengan hati dan pikiran terbuka menyimak pidato-pidato Bung Karno di acara kenegaraan seperti Maulid. Nuzulul Quran atau hari hari besar Islam lainnya. Nampak melalui pidato beliau Ruh Islam memancar kembali dan hidup. Apinya Islam memancar. Bukan abunya Islam. Meminjam istilah Syech Amir Ali dalam bukunya the Spirit of Islam.

Hal itu tidak mungkin jika Sukarno belajar Islam lapis kulit luarnya saja. Pastilah melalui para ulama dan kiai. Ilmu dan ajaran Islam berhasil dipertautkan ke dalam pribadi Sukarno. Sang proklamator dan presiden RI pertama.

Jasa dan andil sejarah Islam melalui wasilah para ulama dan kiai dalam membentuk karakter kepemimpinan Sukarno setidaknya harus tertanam dalam ingatan putra putrinya. Meskipun mereka sebatas putra-putri biologis sekalipun.

Kecuali kalau sebagai anak biologispun mereka tidak sayang pada bapaknya. Cuma merindukan sosok bapaknya. Tapi enggan untuk menghayati impian dan cita cita bapaknya.

Sialnya ini fenomena Sukmawati sudah menjadi gejala umum yang juga terjadi pada putra putri biologis para tokoh nasional lainnya di era kita sekarang. Sukmawati agaknya bukan satu satunya.

Inilah yang kadang bikin saya sedih.Ketika arus besar reaksi masyarakat menyorot Sukmawati sebagai putra proklamator yang sinis pada Islam atau yang dia istilahkan sendiri sebagai tidak mengetahui Syariat Islam. Saya justru berpikir, jangan-jangan Marhaenisme pun tak ada dalam penghayatan kesadarannya. Betapa dalam kurun kesejarahannya, Islam dan umat Muslim dan gerakan nasionalisme melawan penjajahan Belanda maupun Jepang. Ibarat dua sisi dari mata uang yang sama.

Hendrajit, Redaktur Senior.