Jakarta, Aktual.com — Terkuaknya isu Panama Papers (Dokumen Panama) mesti disikapi serius oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden mesti bersikap tegas untuk mengungkap nama-nama yang terindikasi pengemplang pajak itu. Bukan malah melindunginya.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, yang tergabung dalam Forum Pajak Berkeadilan menyebutkan, Panama hanya satu dari sekian banyak negara suaka pajak yang menyediakan fasilitas bagi korporasi, orang super kaya, dan pelaku kejahatan lainnya agar dapat menghindari dan mengelak bayar pajak.
Di mata Mafthuin, masih banyak praktik negara suaka pajak memanfaatkan rezim kerahasiaannya untuk memberikan kekebalan hukum pada koruptor, pencuci uang, dan pengemplang pajak.
“Dan warga super kaya dari Indonesia banyak melakukannya. Perusahaan modal asing dan perusahaan dalam negeri juga tidak sedikit yang menjalankan penghindaran dan pengelakan pajak,” tegas dia dalam keterangan pers yang diterima Aktual.com, Senin (11/4).
Untuk itu, Presiden Jokowi harus bersikap tegas. “Karena Presiden Jokowi tentu sudah mengetahui akibat penghindaran dan pengelakan pajak bagi negeri kita,” cetus dia.
Berdasarkan data yang dilansir dari Global Financial Integrity (GFI) dalam 10 tahun (2003-2013), Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar US$18.844 juta. Kira-kira mencapai Rp2.400-an triliun dengan kurs Rp 13.000/1 USD.
“Artinya, rata-rata per tahun kira-kira Rp 200-an triliun, angka yang sangat besar. Ini 10% dari total APBN Indonesia. Uang itu potensi pajak kita yang menguap, yang mengalir dari wilayah Indonesia ke negara lain dan negara suaka pajak,” tegas dia.
Dengan kondisi itu, menempatkan Indonesia berada pada posisi ke-7 negara dari negara-negara yang memiliki aliran uang haram (illicit financial flows) tertinggi di dunia.
Ia krmbali menegaskan, selain keberadaan negara suaka pajak, tingginya angka aliran uang haram dari Indonesia juga diakibatkan oleh beberapa permasalahan mendasar dan memiliki kecenderungan berulang setiap tahun.
Antara lain, rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak (khususnya kelompok kaya, superkaya dan korporasi), tingginya potensi korupsi pajak, praktik penggelapan dan penghindaran pajak dengan metode perekayasaan keuangan yang rumit, buruknya administrasi-kelembagaan otoritas pajak, rendahnya kinerja otoritas pajak, dan masih rendahnya jumlah wajib pajak.
“Tax ratio Indonesia dari tahun ke tahun selalu di kisaran 12-13% per tahun, padahal potensinya bisa mencapai 16-20%,” ungkap dia.
Padahal kata dia, selama ini konsep Trisakti dan Nawacita yang diusung Jokowi belum terlaksana. “Sekarang saatnya Jokoei berpacu membuktikan ketegasan di bidang perpajakan untuk kepentingan rakyat banyak. Kita butuh pembiayaan untuk wujudkan Trisakti dan Nawacita,” tegas dia.
Ia menuturkan, dengan kondisi perpajakan yang masih memprihatinkan, tentu pemerintah jangan sampai bergantung pada eksploitasi sumber daya alam secara membabi buta atau hutang secara besar-besaran.
“Salah satu cara yang pas adalah intensifikasi penerimaan pajak, khususnya dari korporasi dan orang-orang super kaya,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka