Jakarta, Aktual.com – Saat ini perekonomian dunia dan juga Indonesia sudah berada dalam cengkeraman kapitalisme keuangan. Polanya mereka akan mencari uang dengan menggunakan uang. Kondisi ini disebut lebih kejam dari kapitalisme industrialis.
Demikian disebutkan oleh pengamat ekonomi politik dari UGM, Revrisond Baswier dalam diskusi yang digelar PB PA GMNI, di Jakarta, Kamis (6/10).
“Dalam kapitalisme industri, sekalipun ada eksploitasi, tapi masih ada yang menetes ke sektor riil. Tapi di kapitalisme keuangan, dimana mencari uang harus dengan menggunakan uang, maka tidak ada yang menetes. Ini yang sudah kuasai dunia dan juga jadi fenomena di Indonesia,” terang Revrisond.
Untuk itu, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla diingatkan agar dalam mengelola negara di bidang ekonomi harus berpedoman ke Pasal 33 UUD 1945. Termasuk mengimplementasikan konsep nawacita dan tri sakti-nya.
Dalam Pasal 33, terutama ayat 2 dan ayat 3, selalu disebutkan kalimat, dikuasi oleh negara. Sesuatu yang dikuasai oleh negara itu, kata dia, tidak serta merta hanya berdasar sumber daya alam (SDA), tapi lebih dari itu.
“Seperti yang disebutkan Bung Karno (BK) soal penguasaan oleh negara itu tak hanya SDA, tapi perputaran modal juga harus dikuasai oleh negara yang digunakan untuk pembangunan demi kesejahteraan masyarakat,” jelas Soni, panggilan akrabnya.
Makanya dalam konteks ini, mestinya semua bank itu dikuasi oleh negara. Apalagi memang saat ini, tantangan globalisasi adalah, adanya fenomena kapitalisasi keuangan tersebut.
“Karena, lagi-lagi seperti kata BK, kalau ekonomi kita mau berdikari maka tidak cukup bicara pengelolaan SDA, tapi juga bicara penguasaan oleh negara di sektor perbankan,” tegasnya.
Ditambah lagi, lanjutnya, ada satu kondisi dimana sisi perekonomian melambat, tapi malah kesenjangan antara kaya-miskin semakin melebar. Kondisi ini banyak terjadi di negara-negara di dunia, salah satunya tentu saja Indonesia.
“Kenapa bisa begitu? Ternyata saat ini di Indonesia, kita menghadapi situasi bahwa 1% orang kaya bisa menguasai 50,3% kekayaan kita. Dan 10% rumah tangga kaya malah menguasai 77% kekayaan kita. Ini sangat mengenaskan,” tandas dia.
Apalagi memang, menurut Soni, dalam simpanan perbankan antara simpanan nominal di bawah Rp100 juta dan yang di atas Rp2-5 miliar, ternyata sangat mencolok perbedaannya. Untuk simpanan di bawah Rp100juta, dimiliki oleh pemegang rekening sebanyak 97,8 persen dengan nominal cuma Rp644,3 triliun.
“Tapi coba lihat yang simpanan di atas Rp2 miliar, jumlah rekeningnya cuma 222.100 atau sebanyak 0,17 persen tapi nominalnya mencapai Rp2.564 triliun. Dan yang di atas Rp5 miliar lebih banyak lagi nominalnya,” cetus dia.
Dengan kondisi demikian, ujarnya, rakyat itu tak merasakan manfaat sama sekali. Karena uang itu hanya mengapung di atas. Tapi tak masuk ke sektor riil, hanya masuk ke instrumen investasi seperti saham, SUN, atau properti.
“Kalau kondisi ini berlanjut, dan tak mengikuti amanat dari Bung Karno, maka apa yang diharapkan dari kita yang tak bisa berbuat apa-apa? Pemerintah mestinya harus kembali ke Pasal 33 UUD 1945 itu,” pungkasnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan