Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)
Jakarta, aktual.com – Kedaulatan rakyat. Sebuah mantra sakti yang selalu diucapkan di mimbar, namun terasa seperti lelucon pahit di bilik kekuasaan. Di atas kertas, kita adalah republik demokrasi. Dalam praktiknya, kita hidup di bawah tirani halus yang tak bersenjata: Kartel Kejahatan Politik. Keputusan strategis negara—dari undang-undang hingga proyek triliunan—lebih sering diracik di ruang transaksi elite, bukan di ruang musyawarah yang tulus mewakili suara rakyat.
Inilah konteks yang melahirkan “Enam Opsi Jalan Perubahan” dari Sekolah Negarawan. Ini bukan ajakan untuk anarki, melainkan sebuah latihan intelektual yang brutal jujur: Jika kartel telah menyandera Republik, jalur logis mana yang tersisa untuk merebut kembali kedaulatan?
Yang menarik, di balik ragam opsi yang mencengangkan—dari Dekrit hingga Kudeta Militer—terdapat satu kesamaan fundamental: Tujuan tahap pertamanya adalah ‘reset’ total individu, bukan institusi. Yang dibubarkan adalah seluruh anggota DPR, MPR, dan partai politik(sebagai operator dan jaringan kartel), bukan lembaga DPR dan MPR itu sendiri. Lembaga tetap ada, tetapi diisi ulang melalui arsitektur baru yang didedikasikan bagi kedaulatan rakyat.
Dengan perspektif ini, bahkan opsi tergelap sekalipun—kudeta militer—diposisikan sebagai batas ujung spektrum kemungkinan. Bukan untuk diglorifikasi, tetapi untuk menegaskan: hasilnya harus tetap sama, yaitu menciptakan ruang transisi untuk membongkar cengkeraman kartel atas negara.
Pilihan ‘Tangan Besi’ vs. Pilihan ‘Suara Jujur’: Top-Down, Elit, dan Rakyat Murni
Jalur Top-Down ini menggantungkan segalanya pada keberanian tunggal di puncak eksekutif. Presiden, dengan otoritas politik dan moralnya, membubarkan anggota parlemen dan partai, lalu menginisiasi Musyawarah Kenegarawanan Nasional. Secara hukum, ini drastis. Masalahnya: Akankah seorang Presiden yang diusung dan dikelilingi kartel tega memotong ‘dahan’ yang menopang tahtanya sendiri? Ini adalah ironi kekuasaan.
Motor perubahan bergeser ke ruang elite masyarakat sipil: tokoh bangsa, cendekiawan, rohaniawan, budayawan, mahasiswa, dan TNI/Polri. Inisiatif dimulai dari Maklumat Dewan Inisiator. Ini jalur yang menggabungkan kekuatan moral dan intelektual, memberikan ruang terhormat bagi militer sebagai bagian dari solusi. Namun, ia mensyaratkan hal yang paling sulit: Kesediaan elite untuk mengakui kegagalan sistem yang selama ini menguntungkan dompet mereka.
Ini adalah jalur Bottom-Up Murni, paling jujur terhadap UUD 1945. Rakyat diajak menjawab pertanyaan fundamental: Setuju diadakan Musyawarah Kenegarawanan Nasional untuk perombakan total? Secara moral, ini legitimasi tertinggi. Namun, secara teknis: TAP MPR tentang Referendum sudah dicabut. Dibutuhkan kecerdikan untuk mendesain mekanisme Referendum Rakyat Digital yang kredibel, transparan, dan tak mudah direkayasa.
Parlemen, Jalanan, dan Senjata: Antara Kebabalan dan Keterpaksaan
Dari sudut pandang tata negara, ini jalur teraman: DPR/MPR sendiri yang menginisiasi reset. Teoritisnya mulus, politisnya buntu. Sebab, parlemen hari ini adalah bagian integral dari kartel yang harus diselesaikan. Mengharapkan mereka membongkar sarang kartel adalah harapan terlucu dalam politik modern. Perubahan hanya mungkin jika tekanan publik sudah mencapai level yang mampu membuat mereka takut kehilangan kursi.
Sejarah membuktikan: Gelombang massa adalah alat paling efektif untuk menjatuhkan rezim. Dalam skema ini, people power adalah tekanan besar-besaran untuk memaksa Presiden mengeluarkan Dekrit, atau memaksa DPR/MPR mengambil inisiatif perubahan. Efektif, tetapi sangat berisiko. Tanpa desain kenegarawanan yang rapi, massa mudah berubah menjadi huru-hara yang justru mengundang pihak bersenjata untuk mencuri momentum.
Ini adalah jalur extra-constitutional coercive. Militer mengambil alih, membubarkan anggota parlemen/partai, lalu membentuk Dewan Negara. Paling cepat, tetapi paling berbahaya. Jika tidak dijaga ketat, kedaulatan rakyat mudah digantikan oleh kedaulatan senjata. Menyebut opsi ini bukanlah promosi, melainkan peringatan: Jika jalur damai dan bermartabat macet total, sejarah sering memaksa bangsa memilih jalan paling gelap.
Inti Operasi: Membongkar Kartel, Bukan Membakar Republik
Penting untuk digarisbawahi: Enam opsi ini bukan peta jalan menuju kehancuran, melainkan desain transisi yang sistematis. Semuanya bermuara pada tahapan yang sama setelah ‘reset’ anggota parlemen dan partai:
Yang dirombak adalah “isi dan orbit” kekuasaan yang telah disandera, bukan fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedaulatan Rakyat Bukan Giveaway, Tapi Hak yang Harus Direbut
Perdebatan tentang enam opsi ini membawa kita pada kesadaran hakiki: Kedaulatan rakyat tidak akan pernah turun sebagai hadiah dari Istana. Ia selalu lahir dari keberanian rakyat untuk menuntut, menata, dan menjaga kedaulatannya sendiri.
Apakah jalur yang diambil nanti adalah Dekrit, Referendum, Konvensi, atau kombinasi kreatif lainnya—itu wilayah pilihan politik. Yang jauh lebih krusial adalah kesadaran kolektif bahwa:
Enam opsi dari Sekolah Negarawan adalah undangan bagi kita untuk berani berpikir sampai ke akar. Apakah kita akan terus menjadi penonton yang digiring ke TPS setiap lima tahun, atau mulai bertindak sebagai pemilik sah republik ini? Kedaulatan rakyat baru sungguh pulih ketika rakyat berhenti merasa “diberi” ruang, dan mulai menuntut ruang itu sebagai hak yang tidak bisa dinegosiasikan.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain














