Ilustrasi

Yogyakarta, Aktual.Com – Pemerintah dituntut hadir melalui aturan yang jelas dan tegas untuk menjamin hak penguasaan dan pengelolaan sumber daya air agar benar-benar dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat.

“Problematika sumber daya air ini akan memunculkan peperangan dalam menggunakan sumber daya air antara kebutuhan domestik, pertanian, perikanan, atau industri. Dalam situasi ini negara harus hadir karena ini pasti akan menjadi sumber konflik,” ujar peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Jangkung Handoyo Mulyo, Rabu (1/3).

Hampir 80 juta Masyarakat Indonesia saat ini menurutnya belum dapat memenuhi kebutuhan air minum. Kebutuhan akan air yang kian meningkat sementara ketersediaan air semakin menurun mengakibatkan persaingan penggunaan air antara masyarakat dan pelaku usaha.

Ia pun menyayangkan sikap pemerintah yang belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh swasta yang pada akhirnya akan membuka peluang komersialisasi pengelolaan air yang merugikan masyarakat, terutama kalangan tidak mampu.

Di tengah persaingan ekonomi yang terjadi dalam pemanfaatan air, lanjutnya, pemerintah dituntut untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat seperti yang diamanatkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

“Pemihakan negara salah satunya ditunjukkan dalam bentuk prioritas penggunaan sumber daya air, yaitu pertama-tama untuk pemenuhan kebutuhan pokok minimal sehari-hari, lalu untuk irigasi pertanian rakyat dan lainnya,” kata Jangkung.

Diketahui, tahun 2013 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan yang membatalkan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air disusul pemberlakuan kembali UU 11/1974 tentang Pengairan.

Namun, UU ini dianggap kurang sesuai untuk mengatasi persoalan mengingat latar belakang situasi, kompleksitas permasalahan serta prioritas yang berbeda dengan konteks pembangunan hari ini.

Senada, sosiolog UGM Arie Sudjito menganggap merosotnya otoritas dan tanggung jawab negara dalam mengelola sumber daya air ditandai oleh privatisasi yang berlebihan, meningkatnya daya komersialisasi air oleh swasta terutama asing serta bisnis sumber daya publik.

“Problematika sumber daya air bukan persoalan kurangnya kemampuan teknis kita untuk mengelola air, tapi masalah komitmen politik. Pemerintah tidak boleh terjebak pada pendekatan teknokrasi,” ucap Arie.

Eksploitasi air untuk diperjualbelikan, menurutnya, berdampak pada kelangkaan air sebagai barang publik serta risiko kerusakan lingkungan dan pemiskinan masif yang dialami masyarakat.

“Harus disadari bahwa upaya pelibatan swasta untuk membantu mencukupi kebutuhan air bagi masyarakat ternyata yang terjadi justru eksploitasi air dengan risiko pemiskinan dan ketidakadilan ekologi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dengan mempertimbangkan kompleksitas masalah, Arie pun mengaku optimis bahwa situasi politik yang disertai meningkatnya perhatian masyarakat akan isu ini membuka peluang yang besar untuk dikeluarkannya UU baru yang dapat menjamin pemanfaatan air untuk kepentingan rakyat.

“Momentum ini memberikan peluang besar untuk mengeluarkan UU yang pro rakyat dan pro lingkungan. Kita harus bersama-sama mengawal hal ini,” pungkasnya.

Pewarta : Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs