Mukhtasor, Pengamat Energi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Mukhtasor, Pengamat Energi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Surabaya, Aktual.com – Isu energi terbarukan yang tengah dibahas DPR dalam penyusunan RUU EBT kini menjadi perhatian publik. Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Universitas Riau berkolaborasi dengan Laboratorium Lingkungan dan Energi Laut, DTK- ITS, mendiskusikan RUU EBT tersebut, Kamis, 4/2/2021.

Sebagai pemantik diskusi, Rifqi Nuril Huda, Sekjen DEM Indonesia menyambut baik pembahasan energi terbarukan dalam RUU EBT. Rifqi berharap agar RUU mengadopsi strategi yang dapat mempercepat terwujudnya energi sebagai modal pembangunan.

“Kebijakan Energi Nasional telah mengamanatkan perubahan paradigma bahwa energi sebagai modal pembangunan. Artinya kegiatan penyediaan energi harus berdampak baik bagi penciptaan nilai tambah dalam negeri, penyerapan lapangan kerja dan mendorong perekonomian,” presentasi Rifqi.

Lebih tajam lagi, narasumber diskusi Prof. Dr. Mukhtasor menyoroti beberapa aspek penting dalam RUU EBT. Menurutnya, strategi pengembangan energi terbarukan yang diadopsi di dalam RUU EBT tidak tepat. Bahkan berpotensi risiko sosial ekonomi dan menjadi beban pembangunan.

“RUU EBT ini menjadi penting kalau isinya ini betul-betul baik. Kalau strateginya baik. Jangan sampai ada kepentingan yang lain yang justru lebih membahayakan bagi pembangunan energi itu sendiri ataupun bagi pembangunan Indonesia secara umum.” ujar Mukhtasor.

PLN Wajib Membeli Listrik dari Swasta

Guru Besar ITS tersebut mencatat ada beberapa persoalan dalam tata kelola bisnis dalam RUU EBT. Misalnya adalah adalah pasal 39, 40, dan 51.

Dalam pasal 39, RUU EBT membahas mengenai pihak-pihak yang diizinkan melakukan penyediaan energi terbarukan di Indonesia, termasuk didalamnya adalah BUMN, BUMD, koperasi, BUMDes dan swasta. Bahasan ini menjadi penting saat dihubungkan dengan pasal 40 dan 51.

Dalam pasal 40 ayat 1 dan 2, RUU EBT mewajibkan perusahaan listrik milik negara membeli listrik dari energi terbarukan.

“Pasal 40 angka 1 itu nanti menjadikan produksi listrik swasta, termasuk asing, wajib dibeli PLN. Tidak seperti sekarang yang masih bisa tawar-menawar dengan harga yang wajar. Jika harga listrik yang diproduksi perusahaan swasta kepada PLN itu mahal dan PLN diwajibkan membelinya, maka itulah masalahnya.” tegas Mukhtasor.

Harga Pembelian Listrik dari Swasta oleh PLN akan Mahal

Kekhawatiran diatas sangat beralasan. Karena, setelah PLN diwajibkan membeli di Pasal 40, Mukhtasor menunjukkan adanya tarif masukan (feed-in tariff ) sebagai harga jual listrik dari swasta oleh PLN yang ditetapkan oleh pemerintah, yang diatur di Pasal 51.

Berkaca pada pengalaman, tarif masukan ini akan membuat harga jual listrik menjadi lebih mahal. Padahal praktek selama ini, bisnis tenaga listrik sudah biasa menggunakan tender, sehingga memungkinkan harga listrik yang lebih wajar.

“Pengalaman di Indonesia dan di dunia juga, _feed-in tariff_ itu umumnya akan lebih mahal dari tarif biasa. Kalau tarif biasa berdasarkan tender, itu kan dari transaksi bisnis, tawar-menawar, menjadi lebih murah. Justru karena ada pemaksaan oleh aturan yang ditetapkan DPR dan Pemerintah maka harga listrik itu bisa menjadi lebih mahal. Kalau tidak lebih mahal, tidak memerlukan penetapan seperti itu.” ujar Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) ini.

Konsekuensi Kemahalan Harga Listrik Dibebankan pada APBN

Kemudian parahnya, RUU EBT ini mewajibkan agar dana APBN secara legal dapat digunakan menutup kerugian apabila PLN membeli listrik yang lebih mahal dari swasta, termasuk didalamnya asing.

Dalam pasal 51 ayat 4, RUU EBT mengatur apabila harga yang ditetapkan pemerintah melalui tarif masukan lebih mahal dari harga pokok penyediaan listrik PLN, maka pemerintah wajib mengganti selisih tersebut kepada PLN. Mukhtasor menyoroti ayat ini dengan tajam, karena akhirnya kompensasi kerugian tersebut akan membebani APBN. Padahal beban APBN, termasuk beban membayar hutang, saat ini sudah berat.

Jika RUU ini ditetapkan, itu berarti DPR dan pemerintah seakan-akan sudah mengetahui bahwa tarif masukan akan lebih mahal dan dengan sengaja meletakkan pasal 51 ayat 4 ini.

“Mereka yang menyusun RUU ini seakan-akan sudah tahu, dan sudah mengantisipasi atau bahkan memang sengaja untuk menetapkan RUU ini dengan konsekuensi pembayaran kompensasi dari pemerintah atau APBN,” jelasnya.

Akan Ada Risiko Blunder Buat PLN, APBN dan Rakyat

Oleh sebab itu akan ada risiko yang besar jika RUU EBT tidak diubah. Mukhtasor menekankan bahaya dari konsekuensi pasal-pasal tersebut dengan mengingatkan kekacauan keuangan yang sedang dialami PLN. Hal itu misalnya berdasarkan publikasi Institute for Energi Economics and Finansial Analysis.

Menurut Mukhtasor, apabila RUU EBT ini tetap disahkan dengan segala konsekuensinya, maka ada indikasi RUU EBT telah ditunggangi oleh kepentingan bisnis. Bukan tulus mengembangkan energi terbarukan.

“Kalau kemudian persoalan keuangan dalam tubuh PLN ditambahi beban lagi oleh RUU EBT seperti itu, maka berarti isu energi terbarukan ditunggangi oleh kepentingan bisnis. RUU EBT telah digunakan untuk tujuan diluar kepentingan energi terbarukan. Konsekuensinya, harga listrik akan naik, PLN wajib membeli listrik produksi swasta, APBN akan disedot untuk menutup kemahalan harga, maka alokasi dana pembangunan non listrik akan berkurang, dan ketika kondisi APBN tidak bagus maka ada risiko tarif dasar listrik untuk masyarkat akan naik lagi, perekonomian akan terganggu, rakyat akan semakin sulit” tandas Kepala Laboratorium Lingkungan dan Energi Laut ini.

Harga Energi Terbarukan Semakin Murah

Mukhtasor menjelaskan pengalaman PLN dan juga di dunia bahwa energi terbarukan sudah bisa diproduksi dengan harga yang lebih murah. Dari perkembangan PLTS sejak tahun 2015-2020, harganya semakin murah.

Pada tahun 2017, harga pengadaan listrik PLTS oleh PLN sudah berkurang sekitar 50% dari harga listrik PLTS di tahun 2015. Demikian juga pada 2019, harga listrik PLTS turun sekitar 50% dari harga pada tahun 2017. Pada tahun 2020, harga listrik PLTS sudah bisa sekitar USD Cent 5/kWh atau kurang.

Ini berarti dari waktu ke waktu, harga listrik energi terbarukan semakin kompetitif. Dengan fakta ini, Mukhtasor menegaskan bahwa feed-in tariff dan kewajiban membeli listrik swasta oleh PLN tidak diperlukan. “Jika sudah bisa harga wajar, kenapa dimahalkan?”, tanyanya.

Solusi Strategi bagi RUU EBT

Sebagai alternatif strategi, untuk menghindari bahaya diatas, Mukhtasor mengajukan solusi untuk RUU EBT. Caranya, realokasikan dana APBN yang akan digunakan untuk kompensasi selisih kemahalan harga, untuk investasi energi terbarukan melalui BUMN.

Dengan pengalamannya diatas, PLN sudah mampu mendapat penugasan mempercepat penyediaan energi terbarukan yang kompetitif, agar harga tetap wajar dan sekaligus melindungi masyarakat dan industri.

Untuk itu, realokasikan dana APBN tersebut diatas menjadi tambahan dana penyertaan modal bagi PLN. Dengan demikian postur keuangan PLN menjadi lebih sehat dan dapat menjalankan tugas mempercepat penyediaan energi terbarukan dengan harga yang kompetitif.

Pada saat yang sama, RUU perlu menganatkan sinergi semua kementrian, instansi, lembaga penelitian dan perguruan tinggi, serta perbankan untuk mempercepat investasi di bidang energi terbarukan. Sinergi tersebut juga penting untuk membangun kemampuan industri dan teknologi dalam negeri sehingga rantai pasok energi terbarukan dikuasai bangsa ini.

Swasta nasional dan koperasi tidak boleh dimatikan. Mereka difasilitasi dan didorong agar berbisnis pada rantai pasok energi terbarukan tersebut.

Itulah strategi yang perlu diambil ketika DPR dan Pemerintah menghayati semangat UUD 1945 pasal 33 dan menjalankan amanat mewujudkan kemandirian energi seperti pada UU nomor 30/2007 tentang Energi, serta amanat dalam PP nomor 79/2014, tentang Kebijakan Energi Nasional, yaitu agar memaksimalkan energi terbarukan dengan memperhatikan keekonomian.

BUMN harus menjadi instrumen dalam menjadikan energi sebagai modal pembangunan.

Jika solusi ini diterapkan, maka dana alokasi energi terbarukan dari APBN dapat menjadi aset negara dalam BUMN. Bukan berpotensi hangus akibat membayar kompensasi tarif masukan produsen listrik swasta atau asing.

Pada saat yang sama, harga listrik dapat dikendalikan tidak menjadi mahal sehingga mendorong perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat. Lebih dari itu industri dan rantai pasok dibangun agar nilai tambah kegiatan keenergian dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia.