Jakarta, Aktual.com – Hari-hari ini energi kita terkuras oleh perdebatan tentang komunisme. Dimulai dari isu kebangkitan berupa simbol-simbol komunis, seminar penuntutan permintaan maaf pemerintah kepada keluarga komunis, diskusi di televisi bersama anak-anak tokoh komunis, pro kontra pemutaran film G30S PKI, hingga perang bintang keluarga militer, dimana mayoritas rakyat memprasangkakan bahwa sebab perang bintang itu adalah komunisme.
Bila kita ikuti secara seksama, situasi ini tampak demikian genting, karena benturan-benturan ideologi semakin kesini volumenya terasa semakin menguat. Hampir seluruh pers kita, tidak ada yang tidak ikut bicara soal komunisme. Masyarakat perkotaan hingga pedesaan, orang perkantoran hingga kaki lima, terbawa pula oleh arus atmosfer diskusi komunisme ini.
Namun anehnya, sampai sejauh ini Presiden Joko Widodo belum tampak hadir ke tengah kita untuk memberikan penjelasan dan arahan terkait perdebatan kita yang kian memanas. Entah apa pula sebabnya, Presiden sekarang ini terasa sering alpa dengan hal-hal yang sifatnya meresahkan publik. Tapi selalu cekatan dalam hal-hal yang sifatnya privat. Misal soal pernikahan artis, Presiden bisa begitu responsif memberikan statment. Soal kambing beranak dan kodok dikolam, responsif sekali Presiden ini. Saya melihat ada unsur ketidakcakapan yang kian jelas, dari seorang Joko Widodo dalam mengemban amanahnya sebagai Presiden.
Diamnya Presiden ini tentunya berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi situasi bangsa kita. Karena perdebatan publik tentu akan semakin liar, dan ketidakpercayaan rakyat kepada Pemerintah tentu akan semakin menguat. Karena memang begitulah logika dari sebuah negara, ketika Pemerintah sering alpa dalam persoalan-persoalan rakyat, maka rakyat cenderung tidak percaya dengan Pemerintah. Ketika Pemerintah sudah tidak dipercaya oleh rakyat, maka akan terjadi pembangkangan-pembangkangan sosial yang mengancam kedamaian dan kesejahteraan sebuah negara.
Mengutip apa yang pernah ditulis oleh Seymour Martin Lipset, (Political Man : Social Bases of politics, 1993), bahwa ketika Pemerintah dianggap sudah tidak efektif oleh rakyat, maka negara akan mengalami kematian, dan anarkisme pun tumbuh subur. Tentu situasi demikian sama-sama tidak kita inginkan terjadi di bangsa kita.
Pemerintahan Joko Widodo tampak demikian habis-habisan dalam melakukan proyek pembangunan fisik, terlepas dana dari hutang atau peningkatan pajak, tapi dalam hal tersebut sepintas memang terlihat gagah. Walaupun kita juga pasti sama-sama sepakat bahwa dibalik pembangunan infrastruktur yang banyak itu, ada kecemasan yang mengendap didalam pikiran bernegara kita. Apakah kecemasan itu nanti akan membuncah menjadi sesuatu yang positif atau negatif, masih belum bisa dijawab hari ini.
Yang pasti, terlihat hari ini bahwa semangat pembangunan infrastruktur Pemerintah itu tidak seimbang dengan semangat dalam menjaga kondusifitas emosional rakyat. Sehingga hal ini pun bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan negara kita. Sebagaimana teori yang pernah disampaikan oleh Mancur Olson dalam bukunya The Rise and Declaine of Nations : Economic Growth, stagflaktion, and social rigidities (1982). Bahwa ketidakseimbangan adalah sumber terpenting kebangkrutan sebuah negara.
Oleh : Setiyono
(Pengurus Nasional Keluarga Alumni KAMMI)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan