Peta Israel Raya yang dimaksud Benjamin Netanyahu, yang meliputi wilayah Israel saat ini, ditambah jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, sebagian Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak - foto X

Tel Aviv, Aktual.com – Negara-negara Arab mengecam keras Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mengatakan bahwa ambisinya adalah mewujudkan negara Israel Raya yang meliputi wilayah Israel saat ini serta sebagian wilayah Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, dan Irak. Hal tersebut disampaikan Netanyahu saat diwawancara i24NEWS beberapa hari lalu.

Dilansir dari The Media Line dan Times of India, Kementerian Luar Negeri Yordania melalui juru bicara Sufyan Qudah menyebut pernyataan tersebut sebagai ”eskalasi berbahaya dan provokatif”. Ia juga memperingatkan bahwa pernyataan tersebut mendorong ”siklus kekerasan dan konflik.”

Sedangkan pemerintah Mesir meminta klarifikasi dari Israel terkait pernyataan tersebut. Mesir menilai pernyataan Netanyahu itu menimbulkan kekhawatiran atas ketidakstabilan regional. Sementara pemerintah Qatar menyebut komentar tersebut sebagai ”arogansi” yang akan merusak hak-hak Arab.

Sedangkan Arab Saudi menolak ”proyek permukiman dan ekspansionis”, serta memperingatkan pernyataan  Netanyahu itu menimbulkan ancaman terhadap perdamaian global. Liga Arab juga menyebut pernyataan tersebut sebagai ”pelanggaran terang-terangan” terhadap kedaulatan Arab. Hal senada disampaikan Otoritas Palestina yang menyebutnya sebagai ”eskalasi berbahaya” yang terkait dengan kebijakan kolonial ekspansionis.

Untuk diketahui, sebelumnya, pada Selasa malam (12/8) waktu setempat, saat diwawancara i24NEWS. Saat ditanya pembawa acara Sharon Gal apakah ia merasa terhubung dengan visi tersebut, Netanyahu menjawab, ”Sangat.”

Ia juga mengatakan konsep ”Israel Raya” mengacu pada konsep perluasan wilayah berdasarkan interpretasi Injil dan  sejarah, beberapa di antaranya mencakup wilayah Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir, Irak, dan Arab Saudi modern. Sejak Perang Enam Hari 1967, istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan Israel beserta wilayah-wilayah yang direbutnya saat itu, termasuk Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.

Dikatakan Netanyahu, rencana Israel Raya merupakan  misi sejarah dan spiritual. Ia juga mengatakan dirinya sangat terhubung dengan visi tersebut, yang berakar pada Zionisme Revisionis. ”Jadi, jika Anda bertanya apakah saya memiliki rasa misi, secara historis dan spiritual, jawabannya adalah ya,” kata Netanyahu.

Dalam wawancara itu, Netanyahu juga mendesak untuk ”mengizinkan warga sipil meninggalkan Gaza”, menyamakannya dengan arus pengungsi dari Suriah, Ukraina, dan Afghanistan, tanpa mengakui blokade Israel selama 18 tahun atas wilayah tersebut atau pengungsian massal yang disebabkan oleh kampanye militer genosida yang sedang berlangsung, yang menewaskan banyak warga sipil setiap hari

Gagasan ekspansionis ini telah lama dikritik karena mendorong perampasan tanah di luar perbatasan Israel, mendatangkan orang Yahudi dari seluruh dunia untuk menghuninya, dan mengusir penduduk asli. Gagasan ini pertama kali digagas secara terbuka pada tahun 1956 oleh pendiri yang juga perdana menteri pertama Israel, David Ben-Gurion, yang membenarkan peran Israel dalam serangan tripartit oleh Prancis, Inggris, dan Israel di wilayah Terusan Suez Mesir dengan mengacu kepada ”batas-batas kerajaan Daud dan Salomo yang tercantum pada Alkitab”.

Kontroversi semakin meruncing tatkala Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengumumkan rencana untuk menyetujui lebih dari 3 ribu unit perumahan di wilayah E1 yang kontroversial, antara Yerusalem dan permukiman Ma’ale Adumim. Proyek yang telah lama terhenti akibat oposisi internasional ini dipandang oleh para kritikus sebagai langkah yang akan memecah belah Tepi Barat dan menghambat pembentukan negara Palestina yang bersebelahan.

Smotrich, yang juga mengawasi urusan sipil di Tepi Barat, mengatakan langkah tersebut akan ”mengubur gagasan negara Palestina” dan merupakan bagian dari ”rencana kedaulatan de facto”. Lembaga pengawas permukiman Peace Now mengatakan tender tersebut mewakili peningkatan 33 persen dalam stok perumahan Ma’ale Adumim.

Para pendukung, termasuk para pemimpin pemukim dan wali kota, memuji rencana tersebut sebagai pencapaian strategis dan simbolis. Penentang internasional telah memperingatkan bahwa pembangunan di E1 dapat semakin mempersulit prospek perdamaian dengan secara fisik membagi pusat populasi Palestina di Tepi Barat.

Untuk diketahui pula, laporan terbaru media-media Israel menyebutkan Israel telah mendekati sejumlah negara, termasuk Sudan Selatan, Indonesia, dan Libya, untuk menerima warga Palestina yang diusir paksa dari Gaza, yang menimbulkan kekhawatiran akan pembersihan etnis skala besar.

Pada Rabu (13/8), Kementerian Luar Negeri Sudan Selatan membantah laporan Associated Press yang mengklaim sedang berunding dengan Israel untuk memukimkan kembali warga Palestina di negara Afrika Timur tersebut. Bagi warga Palestina, setiap upaya untuk memaksa mereka meninggalkan tanah mereka akan mengingatkan mereka pada ”Tragedi Nakba”, yakni pemindahan massal warga Palestina secara paksa  pada tahun 1948.

Netanyahu sendiri sangat mendukung usulan Presiden AS Donald Trump untuk mengusir lebih dari 2 juta penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania, sementara para menteri sayap kanan Israel telah menyerukan kepergian ”sukarela” mereka.

(Indra Bonaparte)