Jakarta, Aktual.com – Jaksa penuntut umum menyatakan pengadaan mobile crane (derek) oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) merugikan keuangan negara sebesar Rp36,97 miliar.
“Akibat perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp36,970 miliar sesuai laporan hasil pemeriksaan investigatif atas pengadaan 10 unit ‘mobile crane’ pada PT Pelindo II dari Badan Pemeriksa Keuangan RI,” kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Tumpak M Pakpahan, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (28/11).
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II (Persero) Ferialdy Noerlan dan Senior Manager Peralatan PT Pelindo II (Persero) Haryadi Budi Kuncoro. Menurut jaksa, pengadaan “mobile crane” itu juga diketahui oleh Direktur Utama (Dirut) PT Pelindo II saat itu Richard Joost Lino.
“Pada bulan Oktober 2010, PT Pelindo II (Persero) melaksanakan rapat pembahasan dan rencana kegiatan di tahun 2011 dan oleh RJ Lino selaku Direktur Utama PT Pelindo II mengusulkan pengadaan ‘mobile crane’ dengan kapasitas 25 ton dan 65 ton untuk keperluan cabang Pelabuhan Pelindo II dan dalam rapat tersebut disepakati pengadaan ‘mobile crane’ tersebut dilaksanakan pada 2011 dengan pelaksana kegiatan adalah terdakwa Ferialdy Noerlan yang memerintahkan Haryadi Budi Kuncoro untuk membuat kajian investasi dan menghitung harga satuan ‘mobile crane’,” tambah jaksa Tumpak.
Dari hasil kajian Ferialdy menyuruh supaya Mashudi Sunyoto untuk melaporkan kepada RJ Lino.
Haryadi selanjutnya memerintahkan Erfin Ardiyanto untuk memasukkan investasi “mobile crane” itu dalam daftar tambahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahan (RKAP) dimana usulan tersebut tidak dilampirkan hasil kajian investasi. Padahal semua cabang pelabuhan di bawah PT Pelindo II tidak membutuhkan dan tidak pernah mengusulkan pengadan “mobile crane”, tapi pengadaan “crane” itu dimasukkan dalam RKAP yaitu sebesar Rp58,92 miliar untuk 13 mobile crane untuk 8 cabang pelabuhan yaitu pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Benkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon dan jambi.
Tim teknis dari kantor pusat PT Pelindo II dan perwakilan cabang pelabuhan selanjutnya melakukan rapat penyusunan rencana kerja dan syarat (RKS) yang dilakukan pada April-Mei 2011 dimana Haryadi mengarahkan Mashudi Sunyoto untuk mempergunakan spesifikan “mobile crane” yang diproduksi oleh Harbin Construction Machinery Co.Ltd (HCM) didasarkan tiga perusahaan yaitu PT Narishi Century International, PT Altrak 1978 dan PT United Tracktor.
Tapi pada 12 September 2011, atas arahan Haryadi, dilakukan perubahan spesifikasi teknis tipe “boom mobile crane” menjadi “lattice” atau “telescopic/lattice” untuk menyesuaikan spesifikasi teknis “mobile crane” produksi HCM.
Namun lelang itu gagal karena hanya satu perusahaan yang memasukkan penawaran sehingga dilakukan lelang ulang pada 25 November 2011 untuk pengadaan 10 unit “mobile crane” kapasitas 25 dan 65 ton untuk kebutuhan cabang pelabuhan Pajang, Palembang, Pontianak, Teluk Bayur, Banten, Bengkulu, Cirebon dan Jambi dengan anggaran Rp46,205 miliar.
Guangxi Narishi Century M&E Equipment CO (GNCE) kembali mengajukan penawaran padahal mobile crane dibuat oleh HCM, tapi tim tenis atas arahan Haryati meloloskan PT GCNE meski tidak memenuhi sejumlah syarat administrasi.
Sampai 5 Desember 2012, GCNE pun tidak bisa melaksanakan perjanjian yang sudah ditandatangani yang seharusnya dibatalkan malah diamandemen dari semula ke 8 cabang pelabuhan menjadi cabang pelabuhan Tanjung Priok dan mengurangi nilai pekerjaan sebesar Rp190 juta.
GNCE baru menyerahkan 10 mobile crane pada 24 November 2011 tanpa dilakukan “commisioning test” Setelah dilakukan pemeriksaan, 7 mobile crane QYL65 dan 3 mobile crane tipe QYL25 oleh tim ahli dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjahmada, Universitas Diponegoro dan Institut Teknilogi 10 November Surabaya, spesifikasi teknis dan kinerjanya tidak sesuai rencana kerja dan syarat teknis pengadaan bahkan kondisi riil di lapangan tidak sesuai dengan data di buku manual.
Selanjutnya mobile crane juga mengalami kondisi “buckling” (tekuk) pada pipa-pipa penyusun lengan/boom sehingga membahayakan keselamatan, kondisi mobile crane baik mesin penggerak maupun aksesori pendukung diduga merupakan kondisi bekas pakai yang kemungkinan hasil rekondisi untuk memenuhi syarat RKS.
Atas perbuatan tersebut, Ferialdy dan Hariyadi dikenakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU No 31 thun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Kedua terdakwa juga tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) dan sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi pada 5 Desember 2016.
(Ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby