Ia lantas mengutip pernyataan seorang pengacara Slovenia, Dr. Miro Cerar yang berbunyi ‘politics can interpret law as an obstacle on the way toward the realization of certain political goals’. Artinya adalah ‘politik di atas hukum. Asas rule of law rusak. Kehidupan bernegara kita terancam’.

Dalam skandal tuntutan JPU, asas equity (Suum Cuique Tribuere) menurutnya tidak ada. Ahok diperlakukan berbeda dari terdakwa seperti Permadi, Lia Eden, Asrwendo.

“Sekali pun, yurisprudensi tidak mengikat, namun mestinya rasa keadilan masyarakat harus tetap diperhatikan,” tegasnya.

Jian juga membandingkan kasus Arsewendo yang menyatakan tidak sengaja menista agama. Namun tetep divonis 4 tahun. Sementara, Ahok yang sadar dengan apa yang dia ucapkan, malah konten yang sama ditemukan lagi berulang-ulang.

“Bila pertimbangan Jaksa, Ahok berjasa sebagai gubernur, maka logika terbalik mesti digunakan. Arswendo dan Lia Eden tidak makan uang negara. Gubernur digaji rakyat. Bagi saya, bila seorang pejabat melakukan kejahatan atau melanggar hukum maka vonisnya mesti lebih berat,” tukas Jian.

“Mungkin praduga masyarakat ada benarnya. Jaksa Agung mesti individu steril. Jangan kader dari partai politik,” tambahnya.

Jian melanjutkan, kini bola ada di tangan hakim. Undang-Undang 48/2009 Pasal 5 ayat (1) menegaskan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Artikel ini ditulis oleh: