Jakarta, Aktual.com – Penghentian proyek reklamasi Teluk Jakarta masih diragukan kesahihannya. Setidaknya hal itu yang diungkapkan kelompok nelayan.
Ketua Forum Komunitas Nelayan DKI Jakarta, Diding Setiawan mengaku masih meragukan penghentian proyek reklamasi oleh Gubernur Anies Baswedan.
“Kami sebenarnya masih ragu, apakah benar itu distop secara permanen karena sampai berapa kali pun ganti presiden tidak bisa menghentikan reklamasi,” ujar Diding di Jakarta, Jumat (28/9).
Diding beralasan jika reklamasi Teluk Jakarta dilaksanakan berdasar aturan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1995. Karenanya, tambah dia, proyek ini takkan bisa dihentikan siapa pun Presidennya sepanjang aturan itu dicabut.
“Apalagi ini bukan kewenangan gubernur, gubernur kan cuma mengurus masalah IMB-nya,” tambahnya.
Ia menambahkan, masalah nelayan di ibu kota tidak hanya bisa diselesaikan dengan penghentian reklamasi. Masih banyak yang harus dihadapi dari dampak penghentian reklamasi.
“Terbengkalai seperti ini saja, efek buat nelayan tidak bagus. Sudah tidak ada lampu mercusuar dan banyak kapal yang terdampar, kalau reklamasi mau dihentikan, bahan material sekian hektare akan dikemanakan dan tentu menuntut ganti rugi,” jelas dia.
Di sisi lain, Diding mewakili para nelayan menyampaikan hingga saat ini pihak pengembang belum melakukan kewajibannya mengadakan sosialisasi masalah amdal (analisis dampak lingkungan) kepada nelayan.
“Itulah yang masih dipertanyakan nelayan. Ketika mereka (pengembang) sudah melaksanakan kewajibannya kepada nelayan, saya rasa nelayan tidak mempermasalahkan,” jelasnya.
Sementara, Pulau G sebagai jalur masuk keluar kapal juga terkena dampak akibat penghentian reklamasi. Sebab, pulau tersebut akan mengalami penumpukan material dan akan menghambat perjalanan kapal-kapal lainnya.
Selain itu, nelayan juga mempermasalahkan perihal wilayah yang mereka gunakan untuk menangkap ikan selama reklamasi.
Menurut Diding, sampai sekarang belum ada solusi jelas mengenai wilayah yang seharusnya menjadi ladang mata pencaharian nelayan.
“Ketika proyek sedang berjalan, nelayan tidak bisa menambat jaring di area sekitar situ. Gubernur seharusnya juga membantu sebagai mediator antara nelayan dan pengembang supaya dapat menemukan solusinya,” ungkapnya.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan