Korea Selatan misalnya, pendapatan perkapitanya melesat ke 35.000 dollar AS. Sedangkan yang lain juga melesat mencapai 15.000 dollar AS. Tapi buruk bagi Indonesia, karena hanya mengantongi 3.500 dollar AS per-kapita. Maka jangan heran jika bangsa Indonesia terus ‘terasapi’ dari negara-negara tetangga Asia lainnya.
Penghargaan “Menteri Keuangan” terbaik se Asia yang tersemat di Sri Mulyani tak berbanding lurus dengan kebangkitan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sementara negara-negara Asia lainnya bisa bangkit walau menteri keuangannya tak mendapat sanjungan “menteri keuangan terbaik”.
Karena ekonomi “kembang kempis” ini lah akibat kebijakan Sri Mulyani selaku menkeu, yang mengetatkan anggaran dan panik kejar target pajak. Lebaran kali ini saja misalnya, rata-rata pedagang kecil mengeluh, “penjualan” di tanah abang misalnya hanya 30 persen. Semua rata di blok A, B dan F penjualan merosot rata-rata pedagang hanya mengantongi 50-70 persen.
Barang-barang jualan mereka terpaksa digudangkan akibat loyonya daya beli masyarakat. Ekonomi lemes, pertumbuhan ekonomi stagnan, ketimpangan ekonomi tinggi, belum lagi gempuran barang-barang dari China yang akhirnya bikin terpuruk Indonesia. Kondisi yang berulang setiap tahun di basis-basis ekonomi rakyat.
Penjualan Avgas juga merosot jauh dibanding 2016. Pengusaha kelas menengah seperti outlet Seven Eleven malahan gulung tikar. Janji-janji Sri Mulyani perbaiki ekonomi hanyalah retorika semata. Indeks Pembangungan Manusia dalam posisi biasa-biasa saja, IPM yang diukur berdasarkan kecukupan gizi masyarakat, makanan, pendidikan, kesehatan, hingga akses terhadap air bersih.
Indonesia hanya menempati urutan ke 133 dari 188 negara dan wilayah (2015), kisaran urutan IPM yang begitu-begitu terus dan menyedihkan dibawah cenkeraman ekonomi neoliberalisme.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu