Jakarta, Aktual.com – Dugaan penggunaan ijazah palsu Nasrul Abit pada Pemilihan Gubernur Sumbar 2020 semakin menjadi bola salju dipublik. Jika diloloskan kasus ini akan menjadi noda bagi pelaksanaan Pilgub Sumbar 2020.
Kasus ini mendorong mahasiswa untuk bergerak. Mahasiswa Sumbar yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Peduli Demokrasi (APPD) mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Barat (Sumbar) dan kantor Badan Pengawan Pemilu (Bawaslu) Sumbar pada Senin (21/9) siang.
Koordinator APPD, Rahmat Hanafi mengatakan, bersama rakyat menuntut KPU dan Bawaslu menjalankan Pilkada sesuai azas keadilan. Dia meminta lembaga penyelenggara Pilkada menyelenggarakan tahapan Pilkada sesuai amanat undang-undang.
Kemudian, mereka meminta KPU dan Bawaslu mengusut tuntas kejanggalan penggunaan dugaan dua ijazah pada pencalonan Nasrul Abit sebagai Bakal Calon Gubernur Sumbar 2020. Pengunaan dua ijazah ini sangat janggal. Jangan sampai hal yang tidak sportif menodai penyelenggaraan Pilgub Sumbar 2020.
“KPU dan Bawaslu harus mengusut tuntas dugaan kejanggalan persyaratan Bacalon Gubernur dan Wakil Gubernur berupa ijazah, SKCK, dan lainnya, supaya tidak terjadi fitnah,” kata Rais.
Pada persyaratan pencalonan, pendidikan tingkat lanjutan Nasrul Abit terdapat kejanggalan. Nasrul hanya mencantumkan pernah bersekolah di Sekolah Teknik Menengah (STM) Negeri di STM Negeri Kota Madya Padang pada 1972 hingga 1975. Namun pada lampiran dokumen, Nasrul Abit melampirkan dua ijazah dengan sekolah yang berbeda.
Pertama, Nasrul Abit melampirkan ijazah STM Negeri Padang dengan nama tertulis NASRUL. (titik) A yang dikeluarkan di Padang pada 2 Desember 1975 dan kemudian ijazah kedua adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dikeluarkan pada tahun 1983 dengan nama NASRUL A anak dari Ali Umar.
Selain dua berkas ijazah di tingkat yang sama, yang sangat membingungkan masyarakat, adalah jauhnya tahun kelulusan yang tertera antara STM di Padang yaitu tahun 1975 dengan kelulusan SMA di Lampung tahun 1983. Maka dengan catatan ini, ijazah Nasrul Abit antara STM dan SMA berjarak 8 tahun.
Ketiga, KPU dan Bawaslu diminta untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. KPU sebagai pihak yang berwenang harus netral dan adil dalam menyelenggarakan Pilkada 2020.
Sedangkan yang keempat, adalah KPU dan Bawaslu harus pastikan tahapan Pilkada sesuai protokol kesehatan. Dia menegaskan Pilkada harus berjalan sesuai protokol kesehatan agar tidak terjadi cluster penyebaran baru.
“Karena rata-rata Bapaslon dalam pendaftaran kemarin melakukan iring-iringan, sehingga tidak lagi mengindahkan aturan sesuai dengan protocol kesehatan,” tegas Hanafi.
Hingga sekitar pukul 15.15 aksi belum mendapat respons dari pihak KPU dan Bawaslu. Masyarakat masih terus menyuarakan aspirasinya.
Artikel ini ditulis oleh:
Editor: Andy Abdul Hamid