Presiden Joko Widodo (ketujuh kiri) dan Wapres Jusuf Kalla (ketujuh kanan) berfoto bersama dengan keduabelas menteri Kabinet Kerja hasil perombakan jilid II usai diumumkan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/7). Keduabelas orang menteri tersebut adalah Menko Polhukam Wiranto (ketiga kiri), Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Luhut Binsar Pandjaitan (keenam kanan), Menkeu Sri Mulyani (keenam kiri), Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil (keempat kanan), Menhub Budi Karya Sumadi (Ketiga kanan), Mendikbud Muhadjir Effendy (kanan), Menteri ESDM Archandra Tahar (kelima kanan), Menperin Airlangga Hartarto (kelima kiri), Menteri PAN dan RB Asman Abnur (keempat kiri), Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo (kedua kiri) dan Mendag Enggartiasto Lukita (kiri). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/16.

Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi politik senior, Ichsanuddin Noorsy menengarai komposisi kabinet Joko Widodo (Jokowi) pasca reshuffle ini telah memasuki babak baru, neo liberalisme.

Kendati selama ini sudah terlihat praktik-praktik liberal, tapi komposisi baru ini akan semakin menguatkan kiblat perekonomian nasional ke depannya menjadi semakin pro Barat. Apalagi setelah kembalinya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.

“Kembalinya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menkeu, dan nama-nama lainnya ditambah dengan bertahannya Rini Soemarno sebagai Meneg BUMN mengindikasikan, kiblat kebijakan ekonomi kembali ke Barat,” tandas Ichsan dalam keterangan yang diterima, Rabu (27/7).

Menurut dia, dalam situasi ekonomi AS dan Uni Eropa yang menuju resesi, ditambah situasi ekonomi RRC yang melamban, dan Jepang memberlakukan suku bunga negatif, maka model kebijakan ekonomi yang dipilih melalui para tokoh itu bisa diyakini berpijak pada neoliberal sejati.

“Artinya, liberalisasi perekonomian akan berjalan tanpa hambatan, dan peran swasta yang makin kukuh dalam penyediaan hajat hidup orang banyak,” ujar Ichsan.

Komposisi kabinet tersebut diyakini semakin menguatkan keberpihakan kepada Barat, tepatnya kepada AS. Tapi guna mencapai target, maka yang terpenting adalah kinerja pertumbuhan ekonomi bertengger di 5,2 persen ke atas, tanpa peduli bagaimana kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut.

Padahal, kata Ichsan, publik masih ingat ketika Sri Mulyani lengser meninggalkan prestasi gini rasio atau ketimpangan sosial-ekonomi 0,41 persen, yang berarti situasi perekonomian telah melahirkan ketimpangan dan lampu kuning mulai menyala.

“Saya rasa, Indonesia sedang mengikuti tapak perjalanan perekonomian yang gagal mengangkat harkat martabat bangsa. Maka, perombakan struktur personalia kabinet kali ini pun tidak memberi makna mendasar bagi tegaknya kedaulatan ekonomi nasional,” tutur Ichsan.

Dengan kondisi demikian, sudah jelas kalau neoliberal sejati makin kuat. “Maka, dominasi konglomerasi nasional dan internasional akan berjalan seperti biasa yang akan menguat, di saat bersamaan rakyat jelata masih tidak mengerti bagaimana mengangkat harga dirinya,” pungkas Ichsan.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan