Jakarta, aktual.com – Mantan Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, menyoroti penghentian penyidikan kasus izin pengelolaan tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Novel menduga ada campur tangan tertentu di balik terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tersebut.
Seperti diketahui, KPK menghentikan penyidikan kasus itu dengan alasan tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti. Menurut Novel, semestinya perkara tersebut tetap dibawa ke pengadilan agar pembuktian materiil dapat diuji secara terbuka di persidangan.
“Terlepas substansi perkaranya, memang idealnya proses pembuktian dilakukan di persidangan,” kata Novel dalam keterangannya, Senin (29/12).
Novel menilai persidangan terbuka jauh lebih menjamin akuntabilitas dibandingkan proses penyidikan yang berujung pada penghentian perkara melalui mekanisme internal. Karena itu, ia mempertanyakan dasar penghentian kasus tersebut.
“Selain itu proses persidangan secara terbuka tentu lebih akuntable dibandingkan proses rapat tertutup untuk akhirnya dilakukan penghentian penyidikan,” jelas Novel.
Sebelumnya, KPK membeberkan alasan penerbitan SP3 dalam perkara dugaan korupsi izin pengelolaan tambang nikel di Konawe Utara yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman (ASW). KPK menyebut dugaan penerimaan suap yang terjadi pada 2009 telah melewati masa kedaluwarsa penuntutan hingga tahun 2025.
Sementara itu, terkait dugaan kerugian negara, KPK menilai bukti yang ada belum mencukupi. Atas dasar itu, lembaga antirasuah tersebut memutuskan menghentikan penyidikan.
“Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat, karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, pasal 2 pasal 3-nya, yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” ucap Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Budi menjelaskan, SP3 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang terlibat. Ia menegaskan setiap penanganan perkara harus berlandaskan norma hukum serta asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Kasus ini sendiri bermula ketika KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada 3 Oktober 2017. Aswad diduga terlibat dalam korupsi pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi, eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi di Kabupaten Konawe Utara pada periode 2007–2014.
Dalam perkara tersebut, indikasi kerugian negara disebut mencapai sekitar Rp 2,7 triliun, yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel melalui proses perizinan yang diduga melawan hukum. Selain itu, Aswad yang menjabat Bupati Konawe Utara pada 2007–2009 juga diduga menerima uang sekitar Rp 13 miliar dari sejumlah perusahaan pemohon izin pertambangan.
Aswad disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia juga dijerat Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 undang-undang yang sama juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















