Jakarta, Aktual.com — Agama Islam mengajarkan kepada manusia untuk memberikan ruang bagi perkembangan tradisi dan budaya bangsa yang memberikan kemaslahatan kepada umat, kata Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Ahmdad Madjidun.
“Islam tetap memberi ruang atas tradisi masing-masing suku atau bangsa yang memang positif dan memberi maslahat kepada umat,” katanya di Magelang, Jumat (3/7).
Madjidun mengemuakan, hal itu terkait dengan makna peringatan Nuzulul Quran 1436 Hijriah atau pada bulan suci puasa Ramadhan hari ke-21. Nuzulul Quran sebagai peringatan atas turunnya Al Quran untuk manusia.
Pada kesempatan itu, ia mengajak umat Islam untuk memperhatikan salah satu ayat Al Quran untuk kemudian merenungkan maknanya secara saksama.
“Sesungguhnya Aku (Allah,) menciptakan kamu (segenap manusia) terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Aku (Allah) menjadikan kalian (manusia) bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling (ta’aruf) memahami,” katanya ketika mengutip salah satu ayat dalam Al Quran.
Ia mengemukakan melalui ayat tersebut, Allah SWT menghendaki umat manusia menguatkan kesadaran terhadap “nation state” dan lokalitas kesukuan dengan tradisi budaya kehidupannya yang berbeda-beda.
“Di sinilah Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam Dayak, Islam Aceh, Islam Bugis, menemukan ‘sunnatullah’ sebagaimana termaktub dalam ayat tersebut,” katanya.
Ia mengatakan tentang kesatuan Islam dengan realitas kehidupan umat Islam yang beragam, sesuai dengan tradisi budaya kehidupan sehari-hari.
“Islam satu iya, tapi tradisi dan budaya umat Islam sangat beragam sesuai tradisi suku atau bangsa si muslim. Misalnya saya muslim tapi suku saya Jawa, ya saya berbahasa dan berpakaian sebagaimana orang Jawa. Saya bangsa indonesia, maka salah satu ekspresi iman saya adalah cinta Tanah Air Indonesia,” katanya.
Ia mengemukakan Islam mengakomodasi kekayaan tradisi dan kearifan lokal sebagai salah satu rujukan etika sosial kehidupan umat.
“Jadi kita boleh tahlil, sebab tahlil itu intinya mengagungkan nama Allah, membaca ayat-ayat Al Qur’an dan berdoa dengan tata cara lokal atau tradisi,” katanya.
Ia mengatakan teologi dan ajaran Islam tetap dilaksanakan 100 persen oleh umat, tanpa mematikan tradisi kebangsaan dan kesukuan yang tidak bertentangan dengan nilai keislaman.
Artikel ini ditulis oleh: