Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dicecar pertanyaan oleh wartawan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/6). Nurhadi diperiksa KPK sebagai saksi terkait kasus dugaan suap pengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tersangka tersangka Doddy Aryanto Supeno. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurachman sesumbar akan menjelaskan seluruh tudingan tentang aliran uang Lippo Group yang dialamatkan kepadanya.

Sesumbar ini terlontar dari mulutnya saat dikonfirmasi ihwal uang Rp3 miliar dari Lippo Group untuk penyelenggaraan turnamen tenis Piala Ketua MA yang digelar pada 10-15 Oktober 2015.

“Nanti saya jelaskan itu (tuduhan aliran uang Lippo Group) di pengadilan,” ujar Nurhadi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (6/10).

Nurhadi hari ini dimintai keterangan dengan status terperiksa. Diduga, permintaan keterangan ini berkaitan dengan penyilidikan dugaan korupsi yang dilakukan Nurhadi.

Klaim mantan anak buah Hatta Ali ini, penyelidik KPK hanya mengkonfirmasi beberapa informasi yang menyebut Nurhadi telah menerima sejumlah uang dari Lippo Group.

“Hanya klarifikasi saja,” singkat pria berusia 59 tahun.

Seperti diketahui, dugaan korupsi Nurhadi terungkap sejak kasus suap pejabat MA, Andri Tristianto Sutrisna. Kemudian tuduhan itu semakain terang dalam perkara suap Paniter PN Jakpus, Edy Nasution.

Dalam surat dakwaan Edy, Nurhadi disebut meminta uang sebesar Rp3 miliar kepada Lippo Group. Uang ini berkaitan dengan pengurusan sejumlah perkara hukum yang perusahaan-perusahaan di bawah naungan Lippo Group.

‪Awalnya, Lippo Group melalui PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) menghadapi persoalan hukum terkait permohonan eksekusi tanah oleh ahli waris berdasarkan putusan Raad Van Justitie Nomor 232/1937  pada 12 Juli 1940 atas tanah yang berlokasi di Tangerang.‬

‪Awalnya, tanah tersebut ialah milik ahli waris Tan Hok Tjioe. Tapi saat ini tanah tersebut malah dikuasai oleh PT JBC, dan telah dijadikan lapangan golf Gading Raya Serpong.‬

Atas penyerobotan tanah itu, MA kemudian mengeluarkan petunjuk bahwa ahli waris harus mengajukan permohonan eksekusi  tanah ke MA, sedangkan eksekusinya akan dilakukan oleh PN Tangerang.‬

‪Mengetahui adanya permohonan eksekusi, Eddy Sindoro selaku Presiden Direktur Lippo Group dan Direktur PT JBC menugaskan bagian legal Lippo Group, Wresti Kristian Hesti, untuk melakukan pengurusan perkara.‬

Selanjutnya Hesti menemui Edy Nasution untuk meminta pembatalan permohonan eksekusi tanah yang telah dikuasai PT JBC.‬ ‪Namun, setelah beberapa lama, Edy tidak juga melakukan tindak lanjut, sehingga Hesti meminta Eddy Sindoro untuk membuat memo untuk Nurhadi.

Setelah itu, Edy menghubungi Hesti dan menyampaikan kesediaan untuk membantu mengurus perkara.‬

‪”Edy menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan permohonan eksekusi, atas arahan Nurhadi, agar disediakan uang sebesar Rp 3 miliar,” ujar Jaksa KPK Tito Jaelani saat membacakan surat dakwaan Edy Nasution, di Pengadilan Tipikor Jakarta, beberapa waktu lalu.

‪Meski demikian, Eddy Sindoro menyampaikan kepada Hesti bahwa Lippo Group hanya bersedia membayar Rp 1 miliar. Hesti kemudian menyampaikan hal itu kepada Edy di PN Jakarta Pusat.‬

‪Namun, Edy mengatakan bahwa sesuai arahan Nurhadi yang sering disebut WU, uang tersebut akan digunakan untuk menggelar pertandingan tenis. Akhirnya, Edy menurunkan permintaan menjadi Rp 2 miliar.‬

‪Hesti kemudian berbicara kepada Eddy Sindoro mengenai permintaan Edy. Hesti menyampaikan bahwa permintaan Edy tersebut sesuai dengan permintaan dan persetujuan Nurhadi.‬

‪”Terhadap permintaan tersebut, Eddy akhirnya hanya menyanggupi memberikan uang sebesar Rp 1,5 miliar,” kata Jaksa KPK.‬

‪Pemberian uang kepada Edy dilakukan oleh pegawai Lippo Group yang juga sebagai asisten Eddy Sindoro, yakni Doddy Aryanto Supeno. Penyerahan uang dilakukan di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, pada 26 Oktober 2015.

M. Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan