Jakarta, Aktual.com – Terapi profilaksis dengan obat inovatif menjadi bagian dari rencana pemerintah dalam meningkatkan pelayanan pengobatan pasien hemofilia.

Hal itu tercantum sebagai rekomendasi dalam Pedoman Nasional pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Hemofilia. Meski begitu, kepastian soal ketersediaan obat dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih dipertimbangkan pemerintah hingga saat ini, terutama dari aspek ekonomi.

“Pengobatan untuk pasien hemofilia masih terkendala dalam aspek ketersediaan, akses pembiayaan yang terbatas, dan jumlah rumah sakit yang dapat memberikan terapi. Sementara, bila terapi dilakukan tidak optimal, pasien berisiko mengalami kerusakan sendi,” kata anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Novie Amalia Chozie, ketika dihubungi beberapa waktu lalu.

Pakar kesehatan mendukung penerapan terapi profilaksis hemofilia karena terbukti lebih ampuh secara klinis dalam mencegah perdarahan dan komplikasinya, seperti kerusakan sendi dan kecacatan fisik. dr. Novie menjelaskan, terapi profilaksis untuk pasien hemofilia dapat berupa faktor pembekuan darah, bypassing agent (BPA), dan obat non-faktor seperti emicizumab.

Terapi profilaksis dengan obat inovatif telah terbukti lebih ekonomis dari segi biaya. Studi lokal Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM (CEEBM FKUI-RSCM) terhadap kelompok pasien hemofilia dengan inhibitor menunjukkan, terapi profilaksis dengan obat non-faktor (emicizumab) berpotensi menekan pengeluaran BPJS Kesehatan untuk pengobatan hemofilia sebesar Rp51,9 miliar dalam lima tahun dibandingkan dengan terapi standar.

Penghematan tersebut terjadi karena biaya pengobatan perdarahan dan komplikasi yang muncul dari terapi standar saat ini dapat dihindari. 

Dalam acara peringatan Hari Hemofilia Sedunia 2022 Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Anggota Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) dr. Fitri Primacakti menjelaskan, bantuan JKN untuk pasien hemofilia masih ada kendala soal keterbatasannya. Selain itu, implementasi terapi profilaksis dosis rendah maupun terapi home treatment kepada pasien hemofilia juga masih terbatas.

“Dengan adanya JKN ini, bisa meng-cover kebutuhan pasien hemofilia. Tetapi, untuk pasien dengan perdarahan berat, atau bahkan pasien-pasien yang memerlukan tindakan operasi, masih menjadi kendala karena klaim dan pilihan terapinya sangat terbatas,” kata dr. Fitri.

Rencana Pemerintah

Dari sisi pembiayaan, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK) dr. Yuli Farianti menjelaskan, pemerintah tengah meninjau tarif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan klasifikasi ulang penyakit-penyakit sesuai kondisinya. Upaya ini sedang terus dioptimalkan oleh pemerintah agar para pasien mendapatkan obat-obatan yang lebih efektif. 

“Pemerintah juga sedang meningkatkan peranan Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) dalam rangka menilai teknologi, alat kesehatan, maupun obat-obatan baru agar bisa masuk ke dalam manfaat tanggungan JKN,” kata dr. Yuli.

Pemerintah melihat obat profilaksis inovatif hemofilia sudah sejalan dengan rencana untuk meningkatkan pelayanan pasien hemofilia. Pada acara peringatan Hari Hemofilia Sedunia 2022 HMHI (26/04/2022), Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Dita Novianti Sugandi Argadiredja menyatakan, pemerintah mempertimbangkan aspek benefit, efektivitas, khasiat, dan aspek-aspek lainnya dalam upaya memperluas akses pengobatan.

Rencana pemerintah tersebut perlu segera terealisasi agar sejalan dengan kebutuhan pasien akan adanya terapi profilaksis hemofilia yang terbukti efektif secara klinis maupun ekonomis.

Terbukti Efektif

Icha mengatakan, terapi profilaksis dengan obat inovatif sangat dibutuhkan anaknya yang mengidap hemofilia gejala berat. Kondisi tersebut memaksa anaknya harus membatasi aktivitas sehari-hari. Hal itu berlangsung hingga anaknya sempat mendapatkan terapi profilaksis.

“Setelah anak saya menggunakan obat profilaksis inovatif itu tidak ada perdarahan dan keluhan apa pun. Dia jadi sehat seperti anak lain yang tidak memiliki hemofilia,” kata orang tua pasien, Icha.

Icha menambahkan, anaknya bisa berolahraga dan aktivitas fisik yang berat berkat terapi tersebut. Terapi tersebut juga dinilai sangat efektif untuk anaknya karena penyuntikan hanya dilakukan selama satu kali untuk satu bulan.

Ia berharap, pengobatan ini segera bisa ditanggung oleh pemerintah yaitu BPJS sehingga anaknya, dan juga seluruh pasien hemofilia di Indonesia, bisa menikmati terapi yang lebih efektif.

Masuknya terapi profilaksis inovatif ke dalam jaminan JKN akan meningkatkan kualitas hidup pasien hemofilia. Studi membuktikan terapi profilaksis hemofilia dengan obat inovatif dapat memberikan kontribusi penghematan untuk JKN.

Untuk mewujudkan rencana perluasan akses pengobatan hemofilia, pemerintah perlu menerapkan terapi profilaksis hemofilia yang telah terbukti secara klinis dan ekonomis ke dalam skema JKN.

Tertundanya obat inovatif untuk masuk jaminan JKN tidak hanya menunda peningkatan kualitas hidup pasien tetapi juga membiarkan potensi penghematan yang bisa dicapai pemerintah.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby