Jakarta, Aktual.com – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia kembali menegaskan bahwa Reklamasi 17 pulau di area Teluk Jakarta bukan merupakan solusi berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan ekologis di daratan maupun pesisir ibukota.
“Pantai Utara Jakarta bisa dipulihkan dan direhabilitasi. Namun, tentu saja proses pemulihan tersebut tidak bisa dilakukan secara instan,” ujar Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, dalam siaran pers, Jum’at (10/2).
Memecah masalah ekologis pesisir Jakarta tidak bisa hanya dilakukan Pemprov DKI Jakarta semata, namun juga wajib melibatkan pihak Jabar dan Banten, sebab ekosistem yang ada tidak terpisah oleh batas-batas administratif.
WALHI mengingatkan, anggapan bahwa masalah lingkungan di Teluk Jakarta mampu diatasi tanpa keterlibatan daerah lain, terlebih dengan solusi satu proyek silver bullet berupa reklamasi, merupakan anggapan yang cenderung simplifikatif, tidak realistis serta menghina akal sehat.
Rusaknya ekologi di kawasan itu sebenarnya juga dipicu oleh beragam masalah di daratan. Seperti, sedimentasi dari hulu DAS memasuki badan sungai dan berakhir di muara hingga meningkatkan kekeruhan air laut. Lalu, limbah cair domestik dan industri memasuki badan air sungai dan terakumulasi di muara mengakibatkan tercemarnya air laut. Belum lagi sampah dan limbah padat yang dibuang ke sungai makin memperparah kondisi.
Namun, bila reklamasi dijustifikasi sebagai bagian dari solusi, justru itu hal yang tidak berdasar dan hanya berbasis asumsi, malah membunuh kawasan tersebut.
Permasalahan di darat harus diselesaikan di darat, jangan mengakumulasinya dengan mencoba menyelesaikan di laut. Akibatnya, laut selalu jadi tempat sampah, tempat bertumpuknya berbagai kesalahan tata kelola lingkungan hidup di darat.
Termasuk pencemaran sungai akibat limbah cair domestik dan industri harus diselesaikan dari sumbernya. Penerapan sanksi tegas terhadap industri pencemar serta peralihan kepada moda produksi bersih (clean industry) mutlak dilakukan.
Limbah cair domestik perlu diatasi dengan membangun sistem pengolah limbah cair domestik di wilayah-wilayah pemukiman, bukan di muara yang terintegrasi dengan waduk, sebagaimana yang direncanakan oleh pemrakarsa proyek tanggul raksasa Giant Sea Wall, dimana terjadi akumulasi polutan yang justru akan meningkatkan biaya pengolahan secara signifikan.
Untuk menahan laju penurunan muka tanah yang diakibatkan beban gedung-gedung bertingkat ibukota, Pemprov disarankan lakukan moratorium pembangunan gedung-gedung bertingkat. Bila terus membangun gedung-gedung bertingkat tapi berharap penurunan muka tanah tidak terjadi, itu adalah suatu kebijakan yang tidak realistis dan tidak rasional.
“Cara pandang yang cenderung lakukan ‘pemutihan’ kesalahan di masa lalu akibat ‘keterlanjuran’ proyek skala raksasa sehingga sebaiknya tidak dilakukan rehabilitasi atas berbagai kerusakan yang ada, merupakan suatu cara pandang berbahaya yang ingin melestarikan moral hazards dari pelaku usaha dan pembuat kebijakan yang menggunakan kewenangannya tanpa kendali dan melabrak berbagai aturan,” beber Nur.
Cara pandang ini menurutnya bakal mendorong terus perusakan lingkungan hidup berskala masif karena memaafkan atau membiarkan perusakan tanpa ada sanksi dan pertanggungan jawab di kemudian hari.
Salah satu yang tegas ditolak WALHI sejak tahun 1990-an yakni proyek reklamasi di Kapuk, suatu kawasan ekosistem mangrove (bakau) yang diuruk jadi daratan seluas 831 hektar berupa kompleks perumahan ekslusif (gated community) bernama Pantai Indah Kapuk. Proyek ini mengakibatkan lebih dari 20 juta meter kubik air atau setara 8.000 kolam renang standar Olimpiade kehilangan tempat penampungannya dan akhirnya membanjiri daerah-daerah di sekitarnya.
Diketahui, reklamasi 17 pulau palsu yang telah direstui Pemprov DKI Jakarta akan memiliki total luas sekitar 5.153 hektar. Ini berarti akan ada sekitar 124 juta meter kubik volume air yang harus berpidah tempat, setara 49.000 kolam renang Olimpiade. Kemana air dalam jumlah besar ini akan berpindah masih jadi pertanyaan.
(Nelson Nafis)
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Nebby