KH Salahuddin Wahid (Foto: Istinewa)
KH Salahuddin Wahid (Foto: Istinewa)

Denpasar, aktual.com – Di tangan almarhum Dr. Ir. K.H. Salahuddin Wahid (77) atau akrab disapa Gus Sholah yang wafat karena penyakit jantung pada hari Minggu (2/2) pukul 20.55 WIB itu, Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur mengalami perkembangan fisik dan nonfisik yang signifikan.

Ketika perjumpaan terakhir penulis dengan almarhum di sela-sela Muktamar NU di Jombang pada tahun 2015, kondisi salah satu pesantren tua di Indonesia itu terlihat “beda” dari sebelumnya karena sentuhan Gus Sholah yang lama “hidup” di Jakarta.

Ya, almarhum yang juga adik kandung mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu telah melakukan perkembangan signifikan untuk pesantren yang didirikan kakeknya yang pendiri organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) itu, baik perkembangan fisik maupun nonfisik.

“Pesan terakhir beliau adalah terkait dengan Tebuireng, terkait dengan masalah pendidikan,” kata putra Gus Sholah, Irfan Asy’ari Sudirman Wahid atau Ipang Wahid, kepada wartawan di RS Harapan Kita, Jakarta Barat, Minggu (2/2) malam.

Kendati tidak memerinci, pesan almarhum untuk pendidikan pesantren yang dicontohkan dalam sentuhan Gus Sholah pada Pesantren Tebuireng adalah manajemen fisik dan nonfisik yang mendorong kemajuan pesantren pada era Revolusi Industri.

Secara fisik, almarhum yang “arsitektur” (ITB) itu banyak membangun pesantren peninggalan sang kakek melalui kerja sama sejumlah kolega “Jakarta”. Oleh karena itu, Pesantren Tebuireng kini memiliki Aula H.M. Jusuf Kalla, Aula K.H. Saifuddin Zuhri (K.H. Saifuddin Zuhri adalah mertua almarhum), dan sebagainya.

Tidak hanya fisik, almarhum juga mengembangkan pesantren secara nonfisik melalui “standardisasi” bagi ustaz/ustazah atau “kompetensi” guru sesuai dengan bidang studi yang diampu sehingga kualitas pendidikan (nonfisik) di Pesantren Tebuireng kini menjadi terukur.

Gus Sholah yang sempat menjalani pendididikan di SMP Negeri 1 Cikini, Jakarta, dan SMA Negeri 1 Jakarta itu telah memberi “warna” manajemen pendidikan di Tebuireng, khususnya pada MTs, MA, SMP, SMA, hingga Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) atau IKAHA itu.

Selain itu, Gus Sholah secara nonfisik juga banyak menanamkan pendidikan kebangsaan (pendidikan inklusif) kepada “alumni” Pesantren Tebuireng, karena peran nyata almarhum dalam mencerdaskan bangsa dari sisi akademis, kebangsaan, dan juga agama.

“Beliau memberikan bekal kepada generasi berikutnya menjadi lulusan terbaik, sekaligus menjadi muslim yang menghormati sesama,” kata pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta(UNJ) Dr. Totok Bintoro, M.Pd. saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Minggu (2/2) malam.

Oleh karena itu, meninggalnya Gus Sholah menjadikan Indonesia telah kehilangan tokoh pendidikan inklusif yang tidak hanya menyukseskan program wajib belajar di Indonesia, tetapi juga mencerdaskan generasi muda yang memiliki kekuatan iman dan kebangsaan yang kental.

Pejuang Khitah NU 1926

Satu lagi kiprah, peran, dan jasa penting dari almarhum Gus Sholah yang kelahiran Jombang pada tanggal 11 September 1942 itu adalah ketika Pesantren Tebuireng menjadi tuan rumah Muktamar Ke-33 NU pada saat NU sudah memiliki pasang-surut pengalaman dalam politik praktis.

Paling tidak, muktamar di Jombang itu menandai perjuangan ormas dengan 91,2 juta lebih umat (survei LSI, Januari 2013) itu untuk fokus kepada umatnya, baik dalam pendidikan maupun ekonomi, agar menjadi kekuatan keagamaan/kebangsaan seperti era Walisongo.

Dalam konteks itulah, Gus Sholah merupakan salah satu pejuang Khitah NU 1926 bersama almarhum K.H.A. Hasyim Muzadi, yang 2—3 hari menjelang wafat pun masih sempat menulis untuk NU di media massa tentang “94 tahun NU” dengan pesan pentingnya tentang Khitah NU 1926.

“Saat-saat kesehatannya sudah menurun, beliau menulis dengan menggunakan ponsel. Beliau sangat menaruh perhatian pada masalah pendidikan di pesantren yang diasuhnya. Tulisan beliau sangat banyak sekali (memuat) nilai-nilai kebangsaan,” kata putra almarhum, Ipang Wahid.

Ya, Gus Sholah yang pernah menjabat Wakil Ketua Komnas HAM, anggota MPR pada awal reformasi (1998), dan sempat menjadi kandidat wakil presiden bersama Jenderal Wiranto (Pilpres 2004) itu sangat menaruh perhatian pada masalah-masalah kebangsaan, khususnya NU.

Oleh karena itu, muktamar di Jombang pada tahun 2015 itu pun merumuskan kembali Khitah NU 1926 sebagai “standardisasi” NU untuk kembali kepada orientasi pendidikan, ekonomi, dan dakwah, sebagaimana perjuangan awal NU menjelang pendiriannya pada tanggal 31 Januari 1926.

Tidak hanya itu, Muktamar Jombang (2015) itu juga melahirkan keputusan terkait Khitah NU dalam bidang dakwah, yakni rumusan “Islam Nusantara” sebagai strategi dakwah ala NU yang saat ini justru banyak diperdebatkan secara tekstual dengan anggapan “Islam Nusantara”—Gus Dur menyebut sebagai “Islam Ramah”—sebagai “paham” baru yang menyimpang dari “Islam Rahmatan Lil Alamin”.

Padahal, ahli fikih/syariat UINSA Surabaya K.H. Abdurrahman Navis, Lc., M.H.I. menilai agama itu memiliki wilayah “mahdhah” (baku) dan “ghoiru-mahdhah” (nonbaku). Islam Nusantara/Islam Ramah itu tidak jauh dari strategi dakwah yang rumusannya ala Walisongo, yakni dakwah yang menyerap unsur lokal (nabi bilang “kamu lebih tahu “dunia-mu”).

Ibarat jual kopi, ada yang pakai cara daring, ada yang cara warung, dan sebagainya. Jadi, barang yang dijual sama, yakni kopi. Akan tetapi, cara menjualnya beda strategi. Faktanya, dakwah ala Islam Nusantara itu terbukti mampu memosisikan pemeluk Islam mencapai di atas 95 persen, sedangkan dakwah “sok” syariat justru membuat pemeluk Islam kini turun di bawah 87 persen (Din Syamsudin, 2014), karena Muktamar 2015 itu NU kembali menyuarakan Islam Rahmatan Lil Alamin dalam kekhasan Nusantara.

Ya, almarhum Gus Sholah meninggalkan dua pesan terakhir, yakni pentingnya “standarisasi” pendidikan pesantren (nonfisik/ukuran kualitas) melalui uji kompetensi ustaz/ustazah dan “standardisasi” NU melalui “Khitah NU 1926” (kembali kepada orientasi pendidikan, ekonomi, dan dakwah, termasuk menyuarakan kembali strategi dakwah ala Islam Nusantara). Semoga, pesan “Khitah NU 1926” dalam berbagai bidang itu akan menjadi pembahasan Muktamar NU 2020.

“Kontribusi penting lain, beliau menjelang wafat telah mengupayakan terbentangnya ‘jembatan komunikasi’ antara dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah, melalui kerja sama antara Pesantren Tebuireng dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah untuk menggarap film ‘Jejak Langkah Dua Ulama’ yang mengisahkan pendiri NU dan Muhammadiyah, yakni Mbah Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan,” kata tokoh muda NU Ulil Abshar Abdalla.

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto