Jakarta, Aktual.com — Otto Cornelis Kaligis disebut pernah mendesak hakim yang menangani perkara pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan untuk mengabulkan permohonannya.
“Bahwa pada awalnya majelis hakim menolak untuk mengabulkan permohonan gugatan dari pemohon. Namun, setelah adanya permintaan dari O.C. Kaligis yang mendesak saya untuk saya memasukkan gugatannya dalam kewenangan untuk menyidangkan pertemuan ketiga, saya berpendapat lain dan mengabulkan permohonannya, apakah ini benar?” tanya jaksa penuntut umum KPK Ahmad Burhanuddin saat membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Tripeni Irianto Putro, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis .
Saksi dalam perkara itu adalah ketua majelis hakim sekaligus Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro yang menjadi saksi untuk terdakwa O.C. Kaligis.
“Benar, tapi pertimbangan putusan berdasarkan pertimbangan yang ada kalau pengujian kewenangan yang dilakukan aparat internal pemerintah daerah sehingga landasan hukumnya tepat sehingga disetujui seperti itu,” tambah Tripeni.
“Selanjutnya,” kata dia, “saudara mengatakan ‘Begitu juga kedua hakim sebelum pembacaan putusan berubah pendapat dan mengabulkan gugatan pemohon, dengan pendapat para hakim itu melalui Gary telah datang menemui hakim tersebut. Meskipun hal tersebut tidak saya ketahui secara langsung. Dapat saya sampaikan juga, O.C. Kaligis menyampaikan kurang lebihnya saya kan punya banyak kenalan, nanti diusahakan sampai tingkat banding. Dengan penyampaian itu membawa penekanan kepada saya, nanti OCK yang akan mengurus setelah putusan karena punya banyak kenalan, apakah memang demikian?” tanya jaksa Burhanuddin.
“Yang saya ingat adalah agar gugatan dikabulkan, tetapi saya tidak ingat mengenai ucapan yang banyak kenalan,” tambah Tripeni.
Menurut Tripeni, dia bersama dua anggota majelis lain, yaitu Dermawan Ginting dan Amir Fauzi melakukan dua kali musyawarah terkait dengan gugatan yang diajukan O.C. Kaligis dan timnya.
“Musyararah dua kali, pertama hasilnya NO, kalau musyawarah kedua kami menilai agar putusan dipenuhi sebagian khusus untuk permintaan keterangan saudara Fuad Lubis karena surat penyelidikan itu berlaku umum, tidak konkret dan bisa kena ke siapa saja. Kalau surat pemanggilan itu konkrit hanya untuk Fuad Lubis saja,” jelas Tripeni.
Musyawarah itu dilakukan 4–5 hari sebelum putusan tanggal 7 Juli 2015.
Dermawan Ginting dan Amir Fauzi yang menjadi saksi dalam sidang yang sama juga mengaku bahwa keduanya menerima masing-masing 5.000 dolar AS dari anak buah O.C. Kaligis M. Yagari Bhastara Guntur alias Gary pada tanggal 5 Juli 2015. Dermawan lalu melaporkannya pada tanggal 6 Juli 2015.
“Iya, saya sampaikan kepada Pak Tripeni, lalu dijawab ‘ya sudah ambil saja, kalau saya tidak usah, saat itu hanya saya saja yang melapor’,” kata Dermawan Ginting.
Dalam perkara ini, Kaligis didakwa menyuap tiga hakim PTUN Medan, yaitu Tripeni Irianto Putro selaku ketua majelis hakim sebesar 5.000 dolar Singapura dan 15.000 dolar AS, dua anggota majelis hakim, yaitu Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing 5.000 dolar AS serta Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN Medan sebesar 2.000 dolar AS sehingga totalnya 27.000 dolar AS dan 5.000 dolar Singapura.
Tujuan pemberian itu adalah untuk memengaruhi putusan atas permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara atas penyelidikan korupsi dana bantuan sosial (bansos), bantuan daerah bawahan (BDB), bantuan operasional sekolah (BOS), dan tunggakan dana bagi hasil (DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Perbuatan O.C. Kaligis merupakan tindak pidana korupsi yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby