Dalam rancangan POJK tentang PIKK, yang wajib membentuk PIKK adalah pemegang saham pengendali atau pemegang saham pengendali terakhir. Penerapan ketentuan tersebut mungkin akan mengakibatkan perubahan struktur kepemilikan, terutama apabila terdapat lembaga jasa keuangan yang tidak dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh entitas yang ditunjuk sebagai PIKK.

PIKK dapat berupa salah satu lembaga jasa keuangan dalam konglomerasi keuangan, atau dapat pula berupa entitas non lembaga jasa keuangan, baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk.

“Dengan adanya PIKK sebagai perusahaan induk, diharapkan akan memudahkan pemegang saham pengendali atau pemegang saham pengendali terakhir dalam memantau perkembangan bisnis jasa keuangan yang dimiliki. Di sisi lain, akan memudahkan OJK, selaku regulator, untuk melakukan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan,” kata Agus.

Pada RPOJK tersebut, suatu grup lembaga jasa keuangan baru dinyatakan sebagai suatu konglomerasi keuangan apabila terdapat lembaga jasa keuangan setidaknya dua sektor yaitu bank, perusahaan asuransi dan reasuransi, perusahaan efek, dan atau perusahaan pembiayaan, dan konglomerasi keuangan tersebut memiliki total aset minimal Rp2 triliun.

Berdasarkan kriteria baru tersebut, saat ini terdapat 48 konglomerasi keuangan dengan total aset per posisi 31 Desember 2016 mencapai Rp5.915 triliun atau 67,52 persen dari total aset keseluruhan sektor jasa keuangan. Untuk POJK sendiri ditargetkan akan terbit sebelum akhir 2017.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan