Jakarta, Aktual.co — Kejahatan perbankan hampir selalu melibatkan kalangan internal bank bersangkutan karena aturan dalam lembaga keuangan ini telah dibuat sedemikian ketat seusai prinsip kehati-hatian, kata Kepala Otoritas Jasa Keuangan Sumatera Selatan Patahudin.
“Berdasarkan pengalaman saya sebagai pengawas bank selama belasan tahun, kejahatan perbankan itu hampir pasti disebabkan internal bank itu sendiri. Jika pun dari luar, pasti ada kerja sama dengan orang dalam,” kata Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sumatera Selatan Patahudin di Palembang, Rabu (10/6).
Lantaran pengalaman ini, ia mengatakan OJK relatif mudah menemukan asal muasal kejahatan perbankan (fraud) yang terjadi berdasarkan temuan sendiri atau laporan masyarakat. Meski relatif mudah dalam penindakan tapi OJK sering kali kesulitan dalam mencegah kejahatan perbankan tersebut di masyarakat.
“Mau aturan seketat apapun, tetap saja muncul lagi, dan muncul lagi. Sehingga OJK saat ini lebih mengedepankan pencegahan dengan memberikan literasi mengenai jasa keuangan ke masyarakat,” kata dia.
Literasi keuangan ini membuat masyarakat memahami persoalan risiko sehingga terhindar dari beragam praktik kejahatan jasa keuangan perbankan.
Pemahaman ini sangat dibutuhkan karena OJK ingin mendorong penggunaan produk jasa keuangan di Indonesia yang terbilang masih rendah dengan mencatat angka 28,4 persen untuk strata sosial terbawah dan 51,6 persen untuk kelompok masyarakat teratas.
“Tujuannya, dengan memahami produk jasa keuangan mulai dari risiko dan manfaatnya akan memunculkan keinginan masyarakat untuk menggunakannya (finansial inklusif),” ujar dia.
Ia melanjutkan, yang terpenting dari literasi keuangan ini yakni tidak sebatas mau memanfaatkan produk jasa keuangan (mau membeli) tapi juga mengubah perilaku dalam menggunakan uang yang dimiliki.
“Dulu ada yang suka boros, setelah mengerti manfaat industri jasa keuangan jadi gemar menabung dan investasi, atau mulai menyiapkan masa datang dengan ikut program dana pensiun. Intinya mengubah perilaku, karena berdasarkan hasil penelitiah bahwa semakin tinggi finansial inklusif suatu negara maka semakin makmur negara tersebut,” kata dia.
Dalam UU Nomor 10/1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7/1992 tentang perbankan, hanya satu pasal yang menyatakan bahwa pihak bank sebagai korban untuk kasus hacking, skimming, dan perampokan bank secara manual sehingga digiring ke penerapan KUHP atau ketentuan berkaitan dengan UU Informasi Transaksi Elektronik.
Selebihnya, yakni lima pasal lagi, menjadikan pihak bank sebagai pelaku kejahatan terkait beragam kasus, contohnya kasus Melinda Dee yang membobol dana nasabah karena lemahnya pengawasan internal terhadap petugas pelayanan konsumen.
Artikel ini ditulis oleh: