Pegawai menghitung uang di cash center BNI, Jakarta, Senin (25/1). Pada tahun 2015, BNI berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp326,1 triliun atau tumbuh 17,5 persen dibandingkan tahun 2014 sebesar Rp277,6 triliun. ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluhkan kondisi perekonomian global dan domestik yang masih melemah, sehingga berdampak terhadap laju kredit perbankan yang masih rendah di bawah 10 persen.

Hingga November 2016, OJK mencatat laju kredit hanya bertumbuh 8,46 persen (yoy) menjadi Rp4.285 triliun.

“Dari angka tersebut, kredit rupiah masih mendominasi dengan pertumbuhan 9,41 persen (yoy) sedang kredit valas mencapai 3,35 persen,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad di Jakarta, Jumat (30/12).

Meski begitu, kata dia, capaian laju kredit seperti itu tetap tak menggemberikan. Untuk itu ke depan, di saat masih ada pelemahan ekonomi OJK berharap kredit bisa bertumbuh 13,25 persen.

“Kuta sudah minta ke pelaku perbankan untuk menyampaikan Rencana Bisnis Bank (RBB) 2017. Makanya kredit tahun depan bisa growth menjadi 13,25 persen. Dan Dana Pihak Ketiga (DPK) lebih kecil sebanyak 11,84 persen,” ungkap dia.

Selain itu, pihak perbankan juga menargetkan total aset industri perbankan di 2017 mencapai Rp7.352 triliun.

“Sedang kredit mencapai Rp4.955 triliun dan untuk DPK meski target pertumbuhan rendah tapi ditargetkan akan mencapai Rp5.304 triliun,” papar dia.

Target yang tinggi itu, menurut Muliaman, kendati kondisi ekinomi global masih mengkhawatirkan, namun untuk perekonomian nasional diperkurakan bisa bergerak positif.

“Karena didukung oleh keberhasilan program tax amnesty untuk pembiayaan infrastruktur, mulai pulihnya harga komoditas, serta ada sebagian yang meyakini ada perbaikan ekonomi glibal,” ujar Muliaman.

Meski begitu, kata dia, otoritas tetap mewaspadai laju rasio kredut macet atau non performing loan (NPL) jangan sampai tinggi seperti yang sudah-sudah.

Memang saat ini, per November 2016, NPL mencapai 3,18 persen gross. Katanya, masih terjaga karena di bawah batas threshold sebesar 5 persen.

“NPL yang sempat tinggi itu karena dampak dari 2015 lalu. Tapi mulai bertahap bisa terkontrol. Terutama di sektor pertambangan yang NPL-nya tinggi. Tapi pihak bank sudah mem-price in. Maka NPL di 2017, terutama di sektor pertambangan akan mulai menurun,” pungkasnya.(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid