Jakarta, Aktual.co — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan industri jasa keuangan sebelumnya sudah mengantisipasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sehingga relatif sudah siap dalam menghadapi dampak kebijakan tersebut.
“Ini sudah diantisipasi lama ya oleh pelaku bisnis. Kita sudah ‘prepare’ (siap) lah,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad di Jakarta, Selasa (18/11).
Muliaman menuturkan, penyesuaian harga BBM bersubsidi memang akan memberikan tekanan terhadap inflasi, namun sifatnya hanya sementara (temporary) dan inflasi akan normal kembali setelah tiga bulan.
“Mudah-mudahan kita bisa punya fondasi yang lebih kuat dan menata kembali daya saing kita,” ujar Muliaman.
Terkait dengan kemungkinan meningkatnya rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) industri perbankan, Muliaman menganggap hal tersebut bersifat musiman (seasonal). Tanpa kenaikan harga BBM bersubsidi, aktivitas bisnis perbankan juga menunjukkan adanya tekanan terhadap NPL.
“Selama ini kan memang ada peningkatan pada angka NPL. Itu nanti dengan sendirinya, pertumbuhan kreditnya naik, NPL turun dengan sendirinya,” kata Muliaman.
Muliaman menambahkan, pihaknya telah melakukan uji tekanan atau stress testing dengan beberapa skenario ekstrem terhadap industri perbankan. Hasilnya menunjukkan bahwa industri perbankan relatif kuat menghadapi risiko-risiko baik internal maupun eksternal.
“Tetapi tentu saja vulnarability (kerentanan) itu bisa datang dari satu per satu perusahaan, yang tiba-tiba lupa mengantispasi risiko. Itu lebih ke satu kasus satu saja, secara sistem sih kuat,” ujar Muliaman.
Sebelumnya, pada Senin (17/11) malam lalu, pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk jenis premium dari Rp6.500 per liter menjadi Rp8.500 per liter, sedangkan jenis solar naik dari Rp5.500 per liter menjadi Rp7.500 per liter.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka