Bogor, Aktual.com — Konglomerasi keuangan yang memiliki potensi besar untuk penyulut krisis di sektor keuangan diwaspadai oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Terlebih jika konglomerasi keuangan itu memiliki anak usaha di sektor pertambangan. Di saat harga komoditas energi yang masih terjun bebas, entitas utama diminta harus lebih bersikap hati-hati.

Menurut Kepala Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK, Dhani Gunawan Idat, selama ini, konglomerasi keuangan yang memiliki anak usaha pertambangan jarang terpantau.

“Tapi begitu OJK menerapan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan ditambah harga komoditas tengah anjlok, kami jadi makin mewaspadainya,” tandas Dhani, di Bogor, Jawa Barat, Minggu (5/6).

Dhani menyebutkan, dengan penurunan harga komoditas pertambangan ini, berarti potensi risiko yang mengarah ke krisis cukup tinggi. Karena jika perusahaan itu terbebani utang yang tinggi dan rasio utang terhadap asetnya melambung, bukan tidak mungkin akan mengalami kebangkrutan.

“Sebelumnya, (anak usaha pertambangan dalam konglomerasi keuangan) tidak terpantau. Tapi begitu harga komoditas turun, berarti ada potensi risiko. Kalau bangkrut maka akan menjadi masalah. Sehingga setelah ada pengawasan terintegrasi akan ketahuan potensi risikonya,” beber dia.

Beberapa jenis konglomerasi saat ini, kendati entitas utamanya atau perusahaan holdingnya itu dari industri jasa keuangan, tapi ada juga yang memiliki anak usaha sektor pertambangan.

Dia memberi contoh di Bakrie Group, MNC Group, atau entitas perusahaan energi lainnya, bahkan untuk holding energi di BUMN pun bisa disebut sebagai entitas konglomerasi.

Untuk itu, dalam mengelola manajemen risiko tersebut, pihaknya sudah kerap melakukan stress test. Ini dilakukan untuk mengetahui jika ada anak usaha yang bermasalah, apalagi itu perusahaan pertambangan yang saat ini memounyai beban yang tinggi.

“Kami akan cari tahu bagaimana dampak ke induknya, ke perusahaan sekitar yang bank, dan pengaruh ke perusahaan lain yang non bank,” jelas dia.

Sejauh ini, lanjut Dhani, konglomerasi keuangan di Indonesia ada 50 kelompok, di mana untuk entitas utamanya yang terbanyak adalah jenis bank yang ada 35 perusahaan, jenis sekuritas (1), jenis perusahaan asuransi (4), jenis lembaga keuangan (8), dan lainnya yaitu dalam bentuk special financial institution (1).

Sementara dilihat dari aset yang dikelolanya, lanjut Dhani, ada sebanyak enam perusahaan konglomerasi atau 67,78 persen yang asetnya di atas dari Rp200 triliun. Sedang 11 konglomerasi atau sekitar 25,76 persen memiliki aset Rp80 triliun-Rp200 triliun.

Sisanya, ada 17 konglomerasi atau kira-kira 11,19 persen sebanyak Rp10 triliun-Rp80 triliun, dan ada 15 konglomerasi yang beraset kurang dari Rp10 triliun atau sama dengan 1,27 persen.

Dari jumlah 50 konglomerasi itu, total asetnya mencapai Rp5.548 triliun. Angka itu berarti sebesar 88,99 persen dari total aset di sektor perbankan, dan 69,80 persen dari total aset sektor keuangan yang berjumlah Rp7.948 triliun.

“Makanya dengan besarnya aset tersebut, konglomerasi keuangan itu perlu diawasi. Apalagi konglomerasi itu berpotensi munculnya risiko sistemik dalam sektor keuangan,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh: