Lebih lanjut, dia mengatakan dalam perkembangannya, “Fintech Lending” banyak bermunculan di Indonesia, baik yang legal maupun ilegal.

Berdasarkan data per tanggal 3 Februari 2019, kata dia, tercatat sebanyak 99 perusahaan “Fintech Lending” yang terdaftar di OJK dan salah satu di antaranya telah berizin.

Sementara 98 perusahaan “Fintech Lending” lainnya yang sudah terdaftar di OJK, lanjut dia, masih dalam proses mengurus perizinannya karena ada persyaratan bahwa dalam tempo satu tahun setelah terdaftar, harus mengajukan izin.

“Izin itu sekarang ada persyaratan-persyaratan tambahan, bukan hanya sekadar modalnya menjadi Rp2,5 miliar tetapi ada persyaratan mereka harus punya sertifikasi ISO 27001. Mereka juga bisa memastikan ‘digital signature’, harus ada tanda tangan digital dan itu harus disertifikasi oleh lembaga yang diakui Kementerian Kominfo, dan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga masih antre perizinan,” katanya.

Terkait dengan “Fintech Lending” ilegal, Munawar mengatakan ada beberapa yang membedakan dengan “Fintech Lending” legal di antaranya yang berkaitan dengan pengawasan.

Dalam hal ini, tidak ada regulator atau pengawas khusus yang bertugas mengawasi “Fintech Lending” ilegal, sedangkan yang legal diawasi oleh OJK.

Sementara dari sisi bunga dan denda, penyelenggara “Fintech Lending” ilegal mengenakan biaya dan denda yang sangat besar serta tidak transparan, sedangkan yang legal diwajibkan memberikan keterbukaan informasi mengenai bunga dan denda maksimal yang dapat dikenakan kepada pengguna.

Artikel ini ditulis oleh: