Tangkapan Layar - Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari dalam acara Indonesia Financial literacy Conference, yang dipantau secara daring di Jakarta, Jumat (21/07/2023). ANTARA/Agatha Olivia Victoria

Jakarta, aktual.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai peningkatan literasi dan inklusi keuangan digital mendukung terwujudnya daya tahan keuangan bagi masyarakat Indonesia.

Maka dari itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama meningkatkan literasi dan inklusi keuangan digital.

“Selain mendukung bisnis para pengusaha, tentunya kerja sama ini akan mendukung daya tahan keuangan bagi masyarakat Indonesia, yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Friderica yang akrab disapa Kiki ini dalam acara Indonesia Financial literacy Conference, yang dipantau secara daring di Jakarta, Jumat (21/7).

Peningkatan literasi dan inklusi keuangan perlu dilakukan lantaran semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, sejalan dengan tren perkembangan ekosistem keuangan digital, dengan berbagai model bisnis.

Ia menyebutkan beberapa model bisnis tersebut, di antaranya seperti layanan perbankan digital, Peer to Peer (P2P) Lending, securities crowdfunding, dan berbagai klaster inovasi keuangan digital lainnya.

Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital, terdapat beberapa tantangan untuk mewujudkan ekonomi digital di Indonesia dengan inovasi keuangan digital yang lebih merata dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Tantangan pertama, yakni masih adanya kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan di Tanah Air. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Tahun 2022, tingkat literasi keuangan masih berada pada level 49 persen, sedangkan tingkat inklusi keuangan sebesar 85 persen.

Kiki mengungkapkan kondisi tersebut menggambarkan pengguna belum banyak mendapatkan literasi mengenai produk dan jasa keuangan yang digunakan.

Kedua, belum meratanya literasi dan inklusi antardaerah dimana saat ini masih ada 14 provinsi dengan indeks literasi keuangan di bawah rata-rata nasional, dan 15 provinsi dengan indeks inklusi keuangan di bawah rata-rata nasional.

Lebih lanjut, tantangan ketiga yakni masih ada celah antara literasi dan inklusi keuangan digital di masyarakat, dimana tingkat literasi keuangan digital sebesar 41 persen dan inklusi keuangan digital 55,82 persen.

“Hal tersebut tentu berdampak pada meningkatnya kerentanan terhadap berbagai risiko terkait transaksi digital, beberapa di antaranya yaitu kerugian yang terus meningkat dari risiko kejahatan siber,” ujarnya pula.

Dia melanjutkan, tantangan keempat yakni masih adanya kesenjangan pembiayaan dari lembaga keuangan untuk memenuhi kebutuhan akses pembiayaan UMKM, yang harapannya dapat dijembatani melalui penyediaan akses keuangan secara digital.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada tahun 2021 mencatat masih terdapat 46 juta UMKM atau sekitar 77 persen UMKM di Indonesia yang masih belum mendapatkan akses pembiayaan.

Pada sisi lain, jumlah UMKM juga yang telah terhubung dengan ekosistem digital juga tergolong masih rendah, yaitu baru mencapai 20,76 juta UMKM, menurut data dari Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian tahun 2023.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Rizky Zulkarnain