Jakarta, Aktual.com – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan bahwa pembatalan reklamasi tidak perlu dasar argumentasi yang rumit dan menjlimet. Bagi KNTI, pembatalan proyek 17 pulau di Teluk Jakarta hanyalah persoalan keberpihakan negara kepada nelayan dan ekosistem pesisir.
Menurut Ketua Umum DPP KNTI, Marthin Hadiwinata, jika hanya berpihak kepada perlindungan investasi maka, reklamasi sudah tidak layak untuk disebut berkelanjutan.
“Karena dengan mengabaikan aspek sosial dalam keberpihakan kepada nelayan dan masyarakat pesisir serta mengabaikan prinsip perlindungan lingkungan maka tidak layak dianggap sebagai pembangunan yang berkelanjutan,” ucap Marthin dalam keterangan tertulis, Selasa (31/10).
Tanpa bermaksud mengurangi marwah negara untuk memberikan sebesar-besar kemanfaatan kepada rakyat, ia menyebut bahwa rezim Keppres 52 tahun 1995 yang kerap dijadikan dasar pelaksanaan reklamasi di Teluk Jakarta sama sekali berbeda dengan Perpres 122 tahun 2012.
Marthin beranggapan bahwa Keppres 52/1995 diterbitkan dalam suasana otoritarian yang membuat nelayan dan masyarakat pesisir hanya menjadi obyek pembangunan.
“Sebaliknya Perpres 122/2012 telah berada dalam rezim reformasi dengan UU No. 27 Tahun 2007 yang merupakan undang-undang pertama yang mengatur pemanfaatan sumber daya pesisir dan mulai mengakui peran dan kedudukan penting dari nelayan masyarakat pesisir,” paparnya.
“Meneruskan proyek reklamasi dengan dasar Keppres 52/1995 tidak lain adalah melanggengkan orde baru,” imbuhnya.
Selain itu, Marthin juga berpendapat pelaksanaan reklamasi di Teluk Jakarta juga tidak akan berdampak positif secara sosial-ekonomi. Mengutip hasil kajian Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) tentang Dampak Sosial Ekonomi dan Rekomendasi Kebijakan, ia menyatakan proyek reklamasi disebut hanya akan mengganggu jaringan relasi sosial-ekonomi nelayan di Jakarta yang mayoritas adalah tradisional dan skala kecil karena pemanfaatan sumber daya pesisir menjadi sumber kehidupan.
“Hasil kajian KKP menunjukkan adanya jaringan relasi sosial nelayan yang akan berubah karena aktor-aktor dalam relasi jaringan sosial yang telah terpola mengalami perubahan untuk mempertahankan kebutuhan ekonomi rumah tangganya,” sambung Marthin.
Sebagai informasi, mayoritas kapal penangkap ikan di Jakarta adalah kapal skala kecil (<10 GT) yang berjumlah 3.231 kapal atau 79% dari seluruh kapal perikanan mencapai 4.109 unit di Provinsi DKI Jakarta.
Selain itu, Marthin juga mengungkapkan bahwa selama proyek reklamasi dijalankan, telah terjadi penurunan pendapatan dari rata-rata Rp9,609,515 per bulan (Mei 2014) menjadi Rp2,267,655 per bulan (Mei 2016).
“Jika rekamasi dilanjutkan maka akan berdampak buruk terhadap upaya perlindungan nelayan yang telah dimulai dengan UU No.7/2016 tentang Perlindungan Nelayan,” pungkasnya.
Teuku Wildan A.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Arbie Marwan