Jakarta, Aktual.com – Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Amzulian Rifai menyebut, UU Nomor 25 tahun 2009 sudah jelas-jelas melarang adanya rangkap jabatan bagi pelayanan publik. Seperti disebukan di Pasal 17 (a) UU tersebut.
“Di pasal itu disebutkan, ‘Pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMDaerah’. Tapi faktanya, masih banyak yang melanggar ini,” jelas dia, di Jakarta, ditulis Rabu (6/6).
Fakta yang dia maksud adalah, dari 144 unit yang dipantau ORI belum lama ini, ternyata ditemukan 222 jabatan komisaris yang dirangkap oleh pelaksana pelayan publik dari total 541 jabatan komisaris.
Dari kondisi itu pun, kata dia, telah menunjukkan kualitas layanan publik di kementerian/lembaga itu sangat buruk. Hal ini terjadi gara-gara pimpinannya yang di eselon I dan II merangkap jabatan sebagai komisaris.
“Jadi yang kategori kepatuhan tinggi cuma 44 persen, sisanya yang sedang 48 persen dan yang rendah 8 persen. Padahal dalam RPJMN 2016 seharusnya pelayanan publik yang patuh itu bisa mencapai 80 persen,” tegas dia.
Selain itu, lanjutnya, regulasi lain yang melarang praktik rangkap jabatan komisaris BUMN ini tertulis dalam Pasal 33 (a) UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.
Pasal itu berbunyi, “Komisaris BUMN dilarang memangku jabatan rangkap sebagai anggota direksi BUMN, BUMD, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.”
Juga Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2005 tentang Perubahan atas PP Nomor 29 tahun 1997 tentang PNS yang Menduduki Jabatan Rangkap. Di pasal 2 dsebutkan:
“PNS dilarang menduduki jabatan rangkap, kecuali bagi PMS yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan, (a) Jaksa, merangkap jabatan struktural di lingkungan kejaksaan yang tugas pokoknya berkaitam erat dengan bidang penuntutan atau dapat dberi tugas penuntutatn. (b) Peneliti, dan (c) Perancang.”
Kemudian juga UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, di Pasal 88 (1) PNS diberhentikan sementara, apabila: a. Diangkat menjadi pejabat negara; b. Diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural.
Untuk itu, dia menawarkan solusi, agar para birokrat itu untuk secara tegas mengikuti ketentuan perundang-undangan yaitu UU Pelayanan Publik.
“Kemudian bisa saja dia tetap menjabat di BUMN, tapi sangat selektif dan hanya dengan satu income saja. Tak double,” jelasnya.
Selain itu juga, kata dia, sudah saatnya pemerintah bersikap agar perusahaan dengan saham pemerintah (BUMN) harys ada kontrol (komisaris) itu melalui profesional di bidangnya.
“Solusi terkahir, untuk merevisi berbagai peraturan perundangan-undangan terkait upaya legal tersebut. Karena bagaimana pun juga, adanya rangkap jabatan ini telah menghambat upaya negara menghadirkan pelayanan publik prima,” pungkas dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka