Saudaraku, setelah kita membuka pikiran (open mind), untuk memahami realitas dan kebenaran secara lebih tepat, kita memerlukan kemampuan mendengar dan melihat secara lebih mendalam dengan penuh empati.
Untuk itu, kita harus keluar dari kebiasaan mengembangkan sikap sinisme (cynicism), dan mulai bersedia mendengarkan dan merasakan realitas dari dalam penghayatan batin dengan hati terbuka (open heart).
Tatkala kita terlibat dalam dialog dan mengalami kehidupan orang lain, bila kita menaroh perhatian secara sungguh-sungguh, kita bisa menyadari terjadinya perubahan mendalam dalam cara mendengar dan melihat.
Dengan “open mind”, cara kita melihat dan mendengar objek berasal dari dalam batas organisasi mental-kognitif kita sendiri; sebagai pengamat yang berjarak dari objek yang diamati (I-in-it). Dengan “open heart”, kita mendengar dan melihat sesuatu dari sudut pandang pihak lain. Aku menaroh diri dalam sepatu org lain (I-in-you).
Untuk itu, kita harus mengaktifkan dan menyetel instrumen khusus: membuka hati, yakni kapasitas empati untuk terhubung secara langsung dengan orang atau sistem kehidupan lain (agama lain, budaya lain, mazhab lain, ideologi lain, dan sebagainya).
Dengan demikian, persepsi kita jadi berubah. Kita bergeser dari dunia (sesuatu, fitur dan fakta) yang objektif ke dalam kisah sosok hidup (a living being) dan kedirian (self), yang memperlakukannya dengan penuh respek.
Jika hal itu terjadi, kita akan merasakan perubahan mendalam: kita bisa menunda kebiasaan dan prasangka kita sendiri dan mulai dapat melihat dunia terbentang melalui lensa penglihatan dan pendengaran orang lain.
Tatkala hal ini berjalan, kita biasanya merasakan apa yang diinginkan orang lain sebelum orang itu mengatakan. Bahkan jika orang itu mengatakannya dengan pilihan kata yang tidak tepat, kita bisa menangkap arti sesungguhnya.
Emphatic listening adalah kecakapan yang bisa dilatih dan dikembangkan sebagaimana keterampilan lainnya. Itu adalah keterampilan yang menuntut kita untuk mengaktifkan sumber inteligensia yang berbeda: “kecerdasan hati” (the intelligence of the heart). Sebagian ahli menyebutnya juga dengan “kecerdasan emosional” (emotional intelligence).
Belajar Merunduk, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin