Damaskus, Aktual.com – Setelah empat hari pertempuran dan pembunuhan massal terhadap sisa-sisa pengikut mantan Presiden Basyar Hafiz al-Assad, pemerintah Suriah mengumumkan berakhirnya operasi militer, khususnya di Provinsi Latakia dan Tartus yang merupakan kantung minoritas Alawite Assad.
Dilansir dari The New Arab, bentrokan pasukan pemerintah dan pengikut Basyar al-Assad telah menewaskan lebih dari seribu warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak. Namun Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia mengatakan lebih dari 1.500 orang telah tewas sejak Kamis (6/3) lalu, termasuk 1.068 warga sipil yang merupakan anggota minoritas Alawite yang dieksekusi massal oleh pasukan keamanan atau kelompok sekutu .
Kekerasan di jantung pesisir komunitas Alawite, yang merupakan kampung halaman Basyar al-Assad disebut pemerintah telah mengancam akan menimbulkan kekacauan pada transisi negara yang masih rapuh itu, akibat puluhan tahun di bawah kekuasaan tangan besi rezim Assad.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Hassan Abdul Ghani dalam sebuah pernyataan menyebutkan pada hari Senin (10/3) secara resmi mengakhiri ’operasi militer’ besar-besaran mereka terhadap ancaman keamanan dan ”sisa-sisa rezim” di provinsi Latakia dan Tartus di pantai Mediterania.
”Pasukan kami telah menetralisir sel-sel keamanan dan sisa-sisa rezim lama di Kota al-Mukhtareyah, Kota al-Mazairaa, wilayah al-Zobar, dan lokasi lain di Provinsi Latakia, serta Kota Dalia, Kota Tanita, dan Qadmous di Provinsi Tartous, sehingga berhasil menggagalkan ancaman dan mengamankan wilayah tersebut,” kata Hassan Abdul Ghani.
Ia juga mengatakan bahwa lembaga-lembaga publik di kawasan itu kini sudah dapat kembali menjalankan aktivitasnya, seraya menambahkan, ”Kami tengah mempersiapkan diri untuk kembali ke kehidupan normal dan berupaya memperkuat keamanan dan stabilitas.”
Abdul Ghani berjanji bahwa pasukan keamanan juga akan ”memberikan kesempatan penuh kepada komite investigasi untuk mengungkap keadaan insiden ini, memverifikasi fakta, dan memberikan keadilan kepada yang tertindas.”
Pengumuman itu muncul setelah Presiden sementara Ahmed al-Sharaa , yang kelompok Islamisnya memimpin serangan yang menggulingkan Assad pada tanggal 8 Desember, mengatakan negara itu tidak akan terseret kembali ke dalam pertikaian sipil.
”Suriah tidak akan membiarkan kekuatan asing atau pihak domestik mana pun menyeretnya ke dalam kekacauan atau perang saudara,” kata Sharaa dalam pidatonya. Ia juga berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban, dengan tegas dan tanpa keringanan, siapa pun yang terlibat dalam pertumpahan darah warga sipil, atau yang melampaui kewenangan negara.
Dalam wawancara pada hari Senin (10/3), Sharaa mengakui bahwa ada banyak pelanggaran setelah pecahnya kekerasan dan berjanji akan menghukum semua orang yang bertanggung jawab, termasuk sekutunya sendiri jika perlu.
”Suriah adalah negara hukum. Hukum akan berlaku bagi semua orang. Kami berjuang untuk membela kaum tertindas, dan kami tidak akan menerima adanya pertumpahan darah secara tidak adil, atau tidak ada hukuman atau pertanggungjawaban, bahkan di antara orang-orang terdekat kami,” katanya kepada kantor berita Reuters.
Seperti diberitakan sebelumnya, bentrokan terjadi di daerah tersebut pada hari Kamis setelah orang-orang bersenjata yang setia kepada presiden terguling menyerang pasukan keamanan baru Suriah. Pertempuran itu telah menewaskan 231 personel keamanan pemerintah, dan 250 pejuang pro-Assad, menurut Observatory yang berpusat di Inggris, yang mengandalkan jaringan sumber di dalam Suriah. Namun pihak berwenang tidak memberikan secara resmi angka korban.
Di Jableh di Provinsi Latakia, seorang penduduk yang meminta identitasnya dirahasiakan karena masalah keamanan berbicara kepada AFP sambil menangis tentang teror yang dilakukan kelompok bersenjata yang telah menguasai kota tersebut. ”Lebih dari 50 orang dari keluarga dan teman saya telah terbunuh. Mereka mengumpulkan mayat-mayat dengan buldoser dan menguburnya di kuburan massal,” ungkap warga itu.
Di beberapa daerah, warga sudah mulai berani keluar rumah, tetapi banyak yang masih takut meninggalkan rumah setelah gelap dan mengeluh kurangnya persediaan dasar. ”Saat ini situasi di Latakia sedikit lebih tenang, orang-orang sudah keluar dan beraktivitas setelah lima hari dilanda kecemasan dan ketakutan ekstrem,” kata Farah, seorang mahasiswa berusia 22 tahun yang hanya menyebutkan nama depannya.
Namun karena situasi masih ”sangat tegang”, dia mengatakan bahwa ”setelah jam enam sore, lingkungannya berubah menjadi kota hantu”.
Sebuah video yang tersebar di media sosial memperlihatkan jasad sedikitnya dua lusin pria berpakaian sipil, ditumpuk di halaman sebuah rumah, di al-Mukhtareyah. Di tempat lain, muncul laporan tentang para pejuang yang mencari anggota Alawite dan membunuh seluruh keluarga di tempat.
Hiba, seorang wanita Alawite di Baniyas, mengatakan kepada BBC bahwa pejuang Chechen yang setia kepada pemerintah telah menyerang lingkungannya. ”Tetangga kami terbunuh termasuk anak-anak. Mereka datang dan mengambil semuanya, emas, semuanya. Mereka mencuri semua mobil di lingkungan itu. Mereka bahkan pergi ke supermarket dan mengambil semua barang dari rak,” ungkap Hiba.
”Kami menunggu giliran. Kami tidak tahu kapan giliran itu akan tiba. Kami melihat kematian, kami melihat orang-orang sekarat di depan kami dan sekarang semua teman, tetangga kami, telah tiada. Mereka membunuh orang-orang tak berdosa dengan kejam yang tidak ada hubungannya dengan semua ini,” masih tutur Hiba.
Kepala hak asasi manusia PBB Volker Türk mengatakan kantornya telah menerima banyak laporan tentang terbunuhnya seluruh keluarga, termasuk wanita, anak-anak, dan pejuang yang tidak berdaya.
”Ada laporan tentang eksekusi singkat atas dasar sektarian yang dilakukan oleh pelaku yang tidak diketahui identitasnya, oleh anggota pasukan keamanan pemerintah sementara, serta oleh elemen-elemen yang terkait dengan pemerintahan sebelumnya,” kata Volker.
Seorang jurnalis AFP mengatakan jalan antara Latakia dan Jableh di selatan sebagian besar kosong, hanya kendaraan militer dan ambulans yang melintas. Kendaraan yang rusak akibat bentrokan juga berserakan di pinggir jalan.
Sementara itu, dalam khotbahnya di Damaskus pada hari Minggu (9/3), Patriark Ortodoks Yunani dari Antiokhia, John X mengatakan bahwa ”banyak orang Kristen yang tidak bersalah juga terbunuh bersama dengan orang Alawi.
Berita duka dibagikan di media sosial untuk beberapa anggota komunitas Kristen kecil yang tinggal di pesisir, tujuh di antaranya dapat dikonfirmasi AFP telah terbunuh. ”Kami semua adalah korban, dari semua sekte. Kita semua berada di kapal yang tenggelam, dan tidak ada seorang pun yang akan melindungi kita kecuali diri kita sendiri,” kata Michel Khoury, 42, seorang pengacara Kristen di Latakia.
Sedangkan Amnesty International mengatakan pada hari Senin (10/3) bahwa pihak berwenang juga harus memberikan akses kepada penyelidik nasional dan internasional independen ke Suriah, sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan pencarian fakta mereka sendiri.
Para analis mengatakan kekerasan terbaru ini mempertanyakan kemampuan pemerintah baru untuk memerintah dan membangun kembali negara yang hancur akibat perang saudara selama 13 tahun. ”Kekacauan milisi yang kita saksikan di kota-kota pesisir Alawite memberitahu kita, bahwa tentara Suriah yang baru tidak memegang kendali,” kata Joshua Landis, seorang pakar Suriah di Universitas Oklahoma.
Menurut Landis, kekerasan tersebut akan menghalangi upaya Ahmed al-Sharaa untuk mengonsolidasikan kekuasaannya dan meyakinkan masyarakat internasional bahwa ia memegang kendali.
Untuk diketahui, kekerasan tersebut adalah yang terburuk di Suriah sejak Sharaa memimpin serangan pemberontak kilat yang menggulingkan Assad pada bulan Desember, mengakhiri 13 tahun perang saudara yang menghancurkan dimana lebih dari 600 ribu orang tewas dan 12 juta lainnya terpaksa mengungsi.
Terkait bentrokan yang terjadi empat hari terakhir, sebuah sumber keamanan juga mengatakan kepada Reuters bahwa 300 personel keamanan telah tewas. Namun kantor berita pemerintah Sana mengatakan kuburan massal berisi jasad personel keamanan telah ditemukan di Qardaha. Televisi Suriah yang berbasis di Turki mengutip warga yang mengatakan para loyalis Assad telah menguburkan polisi yang tewas dalam pertempuran baru-baru ini di sana.
(Indra Bonaparte)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















