“Hampir setiap hari operasi yustisi itu dikerjakan untuk mendeteksi di mana-mana titik-titik yang dimungkinkan akan berkembang dan yang sedang berlangsung radikalisme,” sambung dia.

Pada giat ini, masyarakat Kota Surabaya diajak berpartisipasi untuk pembinaan bahaya paham radikalisasi terorisme. Edukasi juga menyasar kaum pelajar dengan menggelar diskusi hingga seminar nasional.

“Nah setelah itu kami memberikan pemahaman-pemahanan bahwa itu tidak benar, kemudian cara-cara penanggulangannya, itu yang dilakukan,” terang dia.

Kata Rudi, salah satu upaya petugas menangkal penyebaran radikalisasi pun digabungkan dengan kegiatan sosial kemasyarakatan seperti kegiatan juru pemantau jentik (Jumantik).

“Kami pernah pura-pura untuk ngecek program nyamuk jumantik dan program penyemprotan, yang penting kami bisa masuk (ke masyarakat) untuk melihat,” ujarnya.

Mendorong masyarakat melakukan pemberantasan sarang nyamuk secara rutin itu dilakukan sekaligus memantau penyebaran paham radikalisme.

Menurut Rudi, cara pemantauan tersebut cukup jitu lantaran dilakukan secara pendekatan lunak dengan berbaur besama anggota masyarakat yang secara sukarela memantau keberadaan jentik nyamuk.

“Sebenernya ini bukan programnya radikalisme, tapi bagaimana kami bisa masuk. Saya informasikan beberapa masyarakat itu tertutup ya, rumahnya dikunci, digembok, tapi dia target kami,” bebernya.

Bahkan lanjut Rudi, jajaranya terus memantau keberadaan dan aktifitas kelompok yang dianggap radikal usai peristiwa Mei 2018 lalu. Penanganan dilakukan untuk level katagori hijau hingga katagori kuning.

Dia mengatakan pembagian level aktifitas kelompok tersebut merupakan pemetaan dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Satuan tugas Antiteror tingkat kota bersama pemerintah daerah ikut membantu memantauan level rendah hingga menengah.

“Pasca-bom 13 dan 14 Mei itu, kami membuat Satgas Antiteror untuk bantu temen-temen Densus 88, kami yang level hijau ke kuning,” ungkapnya.

Rudi tak menjabarkan berapa besar jumlah kelompok terduga terorisme itu. Ia hanya memastikan data intelijenbuang dimiliki berfungsi agar suasana lingkungan masyarakat tetap kondusif.

“Kami bantu dengan memantau yang bibit lah, atau yang jaraknya 10 Km dari target utama,” ujarnya.

Rudi menambahkan, kontra radikalisasi terorisme juga dilakukan di dunia maya. Komunitas media sosial pun diajak bekerja sama untuk melawan berita bohong dan menyesatkan.

“Pronsipnya daripada kita diserang, kita menyerang duluan. Jadi di media sosial kami juga berperang di sana, grup netizen kami selalu mengkampanyekan bahwa paham-paham itu tidak benar,” ujarnya.

Kelompok mahasiswa juga direkrut untuk menyebarkan pemahaman yang baik kepada masyarakat. Cara kampanye ini dinilai efektif lantaran jumlah personel humas Polrestabes Surabaya yang terbatas.

“Kalangan mahasiswa direkrut dan dibayari kosnya, itu kita selalu membuat edukasi di sana, jangan cepat mau ikit rayuan-rayuan yang endingnya akan menanamkan benih-benih tadikalisme di diri manusia,” tandasnya.

Laporan : Fadlan Syiam Butho

Artikel ini ditulis oleh: