Jakarta, aktual.com – Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) menyesalkan sikap pemerintah yang membiarkan dan tidak mengusut kasus yang menimpa Yufrida dan korban-korban lainnya di Malaysia. Pemerintah juga tidak menunjukkan ketidakperdulian atas krisis perdagangan manusia di NTT dan di seluruh Indonesia yang terus meningkat.
“Hingga detik ini, tidak ada satupun oknum baik calo, PJTKI atau pemerintah yang ditangkap, diadili dan dipenjara karena terlibat dengan praktek perdagangan manusia. Juga tidak ada satupun keluarga yang mendapat ganti rugi setimpal atas kematian yang dialami anak/saudara mereka,” tegas Koordinator KELUARGA BUMI Karsiwen dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/7).
Disampaikan, kasus pemalsuan identitas Yufrinda adalah salah satu praktek perdagangan manusia dan umum menimpa mayoritas buruh migrant Indonesia (BMI). PJTKI bekerjasama dengan oknum pemerintahan adalah pihak utama yang mengubah identitas. Praktek yang sekarang memenjarakan 14 orang BMI di Hong Kong karena dituduh berbohong kepada pemerintah Hong Kong.
Sementara, karena UUPPTKILN No. 39/2004, BMI tidak pernah punya kesempatan untuk bebas dari jeratan PJTKI yang memeras melalui biaya penempatan berlebih (overcharging) dengan alasan biaya training, penampungan dan perlindungan. Bukan hanya satu kali pembayaran tetapi berkali-kali.
Disisi lain, lanjut dia, karena kegagalan pemerintah mengsosialisasikan lowongan kerja yang ada diluar negeri dan prosedur yang benar bekerja keluar negeri, akhirnya para calo/PJTKI memanfaatkan kesempatan ini untuk menipu, memeras dan menjebak para korban yang miskin dan tidak berdaya.
KABAR BUMI menyampaikan 6 tuntutan kepada pemerintah. Pertama, dilakukannya autopsi ulang jenazah Yufrida Selan untuk mengusut penyebab kematian dan memastikan kondisi organ tubuh. Dua, menangkap dan menghukum pelaku perdagangan manusia yang merekrut, memalsu identitas Yulfrida dan korban-korban lain dan menempatkan mereka ke Malaysia.
Ketiga, mengirimkan surat protes kepada pemerintah Malaysia karena mengotopsi tanpa pemberitahuan/ijin kepada keluarga/pemerintah Indonesia dan menuntut pengusutan kasus. Keempat, melakukan sosialisasi secara terbuka dan massal serta menciptakan pusat informasi di NTT dan tempat-tempat lain tentang lowongan dan prosedur yang benar menjadi BMI keluar negeri
“Mencabut UUPPTKILN No. 39/2004 dan memberi pilihan kontrak mandiri bagi BMI serta menurunkan biaya penempatan dan keenam meratifikasi konvensi ILO 188 dan 189 dan mengimplentasikan Konvensi PBB 1990 ke dalam Undang-Undang yang benar-benar melindungi BMI, bukan PJTKI,” demikian Karsiwen.
Laporan: Sumitro
Artikel ini ditulis oleh: