Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua MPR RI Oesman Sapta Odang menyarankan reklamasi sebaiknya ditangani langsung oleh pemerintah pusat sehingga pemberian izin kepada reklamasi langsung tidak lagi dilakukan di tingkat pemerintah provinsi atau pemda.
“Soal reklamasi ini sudah menjadi reklamasi nasional. Jadi bukan persoalan di tingkat wilayah lagi,” kata Oesman Sapta dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (25/4).
Ia mengingatkan bahwa terkait perizinan reklamasi bukan hanya ada pada masa pemerintahan saat ini tetapi telah ada perizinan yang berasal dari pemerintahan sebelumnya.
Untuk itu, ujar dia, dengan ditariknya wewenang dalam pemberian izin ke pemerintah pusat maka dinilai tidak akan mengganggu jalannya tugas pemprov atau pemda sehari-hari.
Wakil Ketua MPR mengemukakan bila tidak diserahkan ke pemerintahan pusat maka dicemaskan pekerjaan lainnya di tingkat provinsi bisa terhambat atau menjadi bahan politisasi pilkada.
“Soal reklamasi, saya bilang jangan cepat-cepat diputuskan apakah mau dihentikan atau diteruskan. Sebab, dalam soal reklamasi ini pemerintah juga ikut bertanggung jawab,” ujarnya.
Sebagaimana diwartakan, “joint committee” (komite gabungan) yang dibentuk guna menuntaskan permasalahan reklamasi Teluk Jakarta harus benar-benar terbuka dan transparan guna hasil yang diambil benar-benar objektif dan bermanfaat bagi seluruh kalangan masyarakat.
“Proses kajian dan evaluasi terhadap proyek reklamasi Teluk Jakarta oleh Komite Gabungan yang terdiri dari perwakilan Kemenko Maritim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pemprov DKI Jakarta harus dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan mengutamakan kepentingan publik,” kata Komisioner Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia Yhannu Setyawan.
Menurut Yhannu, keterbukaan ini penting untuk memastikan agar keputusan yang akan diambil pascapenghentian sementara atau moratorium reklamasi bersifat objektif, bukan merupakan keputusan politis yang hanya menguntungkan para pemilik modal dan mengabaikan kepentingan masyarakat umum.
Yhannu menilai, munculnya persoalan reklamasi adalah buntut dari proses pengambilan kebijakan yang tertutup baik oleh pihak pemerintah maupun dewan di DKI Jakarta.
Padahal, lanjutnya, kebijakan tersebut sangat berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat, khususnya sekitar 3.000 nelayan tradisional yang tak bisa melaut lagi akibat proyek reklamasi.
Selain itu, ujar dia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun juga telah menemukan adanya indikasi bahwa proyek reklamasi menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran administrasi perizinan.
Pengambilan kebijakan yang tertutup ini, jelas Yhannu, sangat bertentangan dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publlik (UU KIP) yang telah menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik (Pasal 3 UU KIP).
“Pemerintah dan Dewan dituntut untuk mengutamakan nasib masyarakat di sekitar area reklamasi ketimbang membuat teluk Jakarta menjadi kawasan privasi eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan