Jakarta, Aktual.com – Pemberlakuan transaksi elektronik sebagai satu-satunya alat pembayaran di gardu tol oleh pemerintah mulai 31 Oktober 2017 mendatang, disebut-sebut menjadi kebijakan yang tidak memihak pada rakyat banyak.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mira Sumirat menduga, kebijakan ini hanya akan menguntungkan bank-bank yang menyediakan e-toll saja. Menurutnya, kebijakan ini hanyalah akal-akalan beberapa bank untuk mendongkrak penjualan e-toll yang memang kurang laku di pasaran.
“Ketika enggak laku, terjadilah lobi-lobi antara pihak bank dengan pemerintah, akhirnya muncullah yang namanya Gerakan Nasional non tunai pada 2014. Nah sekarang itu dipaksain biar kartu itu laku,” ujar Mira ketika dihubungi Aktual, Rabu (4/10).
Berdasar catatan Aspek Indonesia, Mira mengatakan jika penjualan e-toll dalam rentang waktu 2004-2017 hanya mencapai 20% saja.
“Angka sekarang udah naik 60 persen, karena sosialisasi, kampanye, dsb. Nah siapa yang diuntungkan dari kampanye ini? Jelas korporasi, rakyat rugi bandar,” jelasnya.
Mira berpendapat jika kerugian masyarakat sudah dimulai sejak membeli kartu e-toll. Dengan membeli kartu seharga Rp 50 ribu misalnya, saldo yang diperoleh pun hanya berkisar antara Rp 25-30 ribu saja.
Kerugian selanjutnya yaitu, masyarakat harus membeli ulang kartu e-toll ketika sisa saldo dalam kartu tersebut mencapai di bawah Rp 10 ribu. Mira menegaskan, sekecil apapun nominalnya, saldo tersebut merupakan hak dari masyarakat yang telah membeli kartu e-toll.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby