Ilustrasi - Gedung KPK
Ilustrasi - Gedung KPK

Jakarta, Aktual.com — Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Banten pada Rabu (17/12/2025) malam bukan sekadar penindakan rutin. Masuknya seorang oknum jaksa dalam daftar pihak yang diamankan membuka kembali borok lama konflik kepentingan di tubuh aparat penegak hukum.

Jaksa bukanlah pejabat biasa. Ia memegang kendali atas proses penuntutan, memiliki kewenangan menentukan nasib hukum seseorang, sekaligus menjadi mitra strategis KPK dalam pemberantasan korupsi. Ketika kewenangan sebesar itu disalahgunakan, maka yang runtuh bukan hanya hukum, melainkan kepercayaan publik.

Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto membenarkan keterlibatan oknum jaksa tersebut. Ia menyatakan, KPK telah melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk menghindari benturan antarlembaga dalam penanganan perkara.

“Sudah ada koordinasi dengan Kejaksaan Agung,” ujar Fitroh di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Namun, koordinasi ini justru menimbulkan pertanyaan serius. Publik menuntut jaminan bahwa proses hukum tidak akan terjebak dalam solidaritas korps atau kompromi internal, mengingat posisi jaksa sebagai bagian dari institusi yang juga memiliki kewenangan menindak.

Fitroh enggan mengungkap detail perkara dan meminta publik menunggu hasil pemeriksaan. “Nanti kita lihatlah hasilnya,” katanya.

Sementara itu, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengonfirmasi bahwa dalam OTT tersebut, penyidik mengamankan lima orang dari beberapa lokasi di Banten.

“Benar, ada kegiatan penyelidikan tertutup. Sampai dengan semalam, tim mengamankan lima orang di wilayah Banten,” kata Budi.

KPK kini memiliki waktu 1×24 jam untuk menentukan status hukum pihak-pihak yang diamankan. Fase krusial ini menjadi ujian utama independensi penegakan hukum, terutama ketika salah satu pihak yang terlibat adalah aparat penegak hukum itu sendiri.

Sejarah mencatat, perkara yang melibatkan aparat sering kali menghadapi hambatan serius: tarik-menarik kewenangan, potensi intervensi, hingga upaya perlindungan internal. Dalam konteks inilah OTT Banten menjadi batu uji nyata bagi komitmen bersih-bersih aparat hukum.

Sepanjang 2025, KPK telah menggelar sedikitnya delapan OTT besar. Namun, keterlibatan jaksa dalam OTT kali ini memberi dimensi berbeda. Ini bukan hanya soal korupsi, melainkan soal penyalahgunaan kuasa dan konflik kepentingan struktural.

Ketika jaksa yang seharusnya menuntut pelaku korupsi justru diduga bermain di balik meja, maka seluruh rantai keadilan ikut tercemar. Publik kini menunggu apakah KPK mampu menembus tembok kekuasaan institusional dan menuntaskan perkara ini tanpa kompromi.

OTT Banten menjadi alarm keras bagi Kejaksaan Agung. Lebih dari sekadar sanksi personal, kasus ini menuntut evaluasi menyeluruh atas sistem pengawasan internal, pola relasi jaksa dengan pihak berperkara, serta celah konflik kepentingan yang selama ini dibiarkan mengendap.

Jika tidak ditangani secara transparan dan tuntas, perkara ini berpotensi menjadi preseden buruk—bahwa hukum masih bisa dinegosiasikan oleh mereka yang seharusnya menjaganya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain