Nelayan menjemur ikan asin di Kawasan Muara Angke, Jakarta Utara, Selasa (26/9/2017). Perharinya Nelayan tersebut bisa memproduksi ikan asin rata-rata 2-3 ton, untuk didistribusikan ke wilayah Jakarta dan Sumatera. AKTUAL/Tino Oktaviano

Cilacap, Aktual.com – Hasil laut di perairan Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dikabarkan tengah dalam kondisi paceklik.

Salah seorang nelayan di kawasan itu, Julianto, menyatakan jika kondisi ini telah berlangsung hingga beberapa bulan belakangan.

“Hanya dapat sampah dan udang,” kata Julianto sambil menunjukkan udang hasil tangkapannya.

Pada saat ditemui, Julianto memang hanya mendapatkan 50 ekor udang saja. Jika ditotal, berat dari semua udang itu hanya mencapai 1 kilogram saja. Jika dijual, harganya pun tidak lebih dari Rp 50.000.

Menurut dia, hasil penjualan ini tidak dapat menutup biaya operasional yang dikeluarkan untuk melaut. Julianto mengungkapkan, biaya yang dibutuhkan untuk melaut sendiri mencapai Rp 200 ribu.

“Kalau dijual paling dapat Rp50.000 sehingga enggak mencukupi biaya operasional karena untuk beli bensin dan kebutuhan lainnya termasuk akomodasi untuk dua orang secara keseluruhan mencapai Rp 200 ribu,” katanya.

Meskipun tengah dalam kondisi paceklik, Julianto dan sebagian nelayan lainnya di Cilacap tetap melaut. Mereka berharap setidaknya mendapat tangkapan ikan untuk menghidupi keluarganya.

Sedangkan nelayan lainnya, Sukirno, lebih memilih untuk tidak melaut lantaran minimnya hasil tangkapan dari laut. Ikan semakin susah ditemui di perairan selatan Cilacap dalam masa paceklik dalam dua bulan terakir.

Namun, Sukirno mengakui sempat nekat melaut pada masa paceklik ini.

“Enggak ada ikan, paling hanya udang dan jumlahnya sangat sedikit. Kalau bisa dapat udang super yang harganya Rp 180.000 per kilogram masih mendingan, meskipun biaya operasionalnya mencapai Rp 200.000,” kata dia yang sempat mendapatkan udang senilai Rp300.000 pada masa paceklik.

Kondisi ini dikatakan Sukirno telah membuat sejumlah nelayan beralih profesi untuk sementara waktu. Bekerja di berbagai proyek menjadi pilihan sebagian nelayan.

Kabupaten Cilacap sendiri memang menjadi kawasan industri yang dihuni beberapa perusahaan besar, seperti Pertamina dan Semen Holcim. Selain itu, terdapat pula beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di kota tersebut.

Dalam kondisi paceklik seperti ini, Sukirno mengaku jika dirinya biasa merantau ke Jakarta untuk bekerja pada sebuah perusahaan mebel Jepara. Namun hingga kini, belum ada satu pun tawaran pekerjaan lain yang datang padanya.

Sementara itu, Ketua Kelompok Nelayan Pandanarang, Tarmuji mengakui masa paceklik yang dialami oleh nelayan di kawasan Pantai Teluk Penyu.

Menurutnya, para nelayan sempat berharap adanya hasil yang bagus untuk tangkapan ikan bawal putih pada saat menjelang Tahun Baru Imlek lalu. Sebab, pesanan dari luar negeri terhadap hasil laut pada masa Tahun Baru Imlek biasanya akan membludak, sehingga berimbas kepada nelayan.

Sayangnya, harapan itu sirna lantaran jumlah tangkapan nelayan tak kunjung meningkat.

“Kalau sekarang yang hasilnya cukup lumayan adalah udang rebon, namun tidak semua wilayah ada udang rebonnya. Harga udang rebon saat sekarang mencapai kisaran Rp 20.000-Rp25.000 per kilogram yang bergantung pada ukuran, biasanya hanya Rp4.000-Rp6.000 per kilogram,” kata Tarmuji.

Lebih lanjut, Tarmuji mengatakan masa paceklik terjadi karena adanya migrasi ikan dan diperkirakan pada bulan Juni, ikan-ikan akan kembali bermunculan di perairan selatan Cilacap seiring dengan datangnya musim angin timur.

Bagi nelayan Cilacap, kata dia, gelombang tinggi yang terjadi pada musim angin timur justru membawa berkah karena banyak ikan yang bermunculan di perairan.

Ia mengatakan musim angin baratan datang berbarengan dengan musim hujan, sedangkan musim angin timuran berbarengan dengan kemarau.

Oleh karena itu, kata dia, berdasarkan ilmu “titen” yang merupakan kearifan lokal, ketika petani panen terus karena banyak hujan, nelayan justru mengalami masa paceklik dan sebaliknya ketika petani paceklik, nelayan akan menikmati masa panen.

“Ketika nelayan mengalami paceklik, sering kali mereka jadi ‘pedagang’ dadakan karena barang-barang yang ada di rumah dijual atau digadaikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” katanya.

Kendati demikian, dia mengakui jika hasil tangkapan pada tahun 2017 jauh lebih baik dibanding tahun 2016 karena terjadi masa paceklik berkepanjangan.

Berdasarkan catatan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Pandanarang, ikan mulai muncul pada tanggal 7 Agustus 2017 dan nilai transaksinya hingga bulan November mencapai Rp3 miliar dan selanjutnya ikan-ikan mulai berkurang sampai sekarang sehingga transaksi hingga Desember 2017 sebanyak Rp3,6 miliar, sedangkan selama tahun 2016 hanya Rp 1,8 miliar.

Ia mengatakan transaksi di TPI Pandanarang pada tahun 2013 mencapai Rp6 miliar, tahun 2014 sebanyak Rp4,8 miliar, dan tahun 2015 mencapai Rp7,3 miliar, sedangkan transaksi pada bulan Januari-Februari 2018 belum dihitung secara keseluruhan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Teuku Wildan