Jakarta, Aktual.com – Pengamat Ekonomi Energi dari UGM, Fahmy Radhi menduga gerak-gerik aktifitas PT Pacific Petroleum Trading (PPT) yang kembali membuka kantor cabang di Singapura sebagai strategi broker gas untuk Indonesia. Hal tersebut menambah kebobrokan manajemen Pertamina dibawah kendali Dwi Soetjipto dan dilanjutkan plt Yenny Andayani.

Menurutnya, perusahaan yang dulunya pada Tahun 1965 bernama Far East Oil Trading Company tidak layak untuk menjalin kerjasama dengan kepentingan Indonesia pada sektor migas.

“Jika penunjukan PT PPT sebagai broker untuk impor gas sangat tidak tepat dan membahayakan kebijakan gas dalam negeri. Mestinya ada lembaga pemerintah yang menjadi agregator gas yang melakukan impor,” katanya kepada Aktual.com di Jakarta, Selasa (14/2).

Perlu diketahui, dalam persoalan impor gas, mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas, Faisal Basri mengungkapkan bahwa PT Pertamina Persero telah membuat skenario untuk mengimpor gas secara besar-besaran mencapai 10.5 juta ton pada tahun 2019.

Pertamina telah mengingat diri melalui kontrak akan melakukan impor dari berbagai negara. Diantara negara yang bakal menjadi sumber impor bagi pertamina yaitu Amerika Serikat (AS).

Kemudian Pertamina menemukan hambatan masalah infrastruktur, untuk itu kata Faisal, dengan motif infrastruktur, Pertamina ingin menguasai infrastruktur yang dimiliki PT PGN (Persero) Tbk melalui mekanisme holding.

Berdasarkan hasil penelusurannya bahwa usulan holding energi yang mencaplok PGN atas insiatif Pertamina yang dibisiki oleh Wood McKinsey (konsultan Pertamina)

“Saya telah menelusuri holding ini inisiatif dari Pertamina yang dibuat oleh Wood McKinsey, diketahui bahwa Pertamina merupakan nasbah terpenting di dunia bagi McKinsey dan kebetulan Direktur keuangannya mantan McKinsey juga. Banyak sekali kajian yang dipakai Kementerian BUMN mengunakan rujukan McKinsey,” jelasnya.

(Laporan: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka