Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pelemahan pajak non minyak dan gas (migas) yang cuma tumbuh 5,7 persen salah satunya bagian dari penerapan kebijakan insentif pajak kepada sektor tersebut.
Untuk itu, kata dia, pemerintah bakal menghitung kembali soal pajak non migas ini. Pasalnya, dari capaian yang rendah itu bisa dianggap insentif yang diberikan tak efektif.
“Penerimaan pajak non migas yang tumbuh 5,7 persen itu saya anggap cukup lemah. Dan jika dikurangi dari penerimaan tax amnesty yang mencapai Rp109 triliun. Maka penerimaan sektor migas ini jelas negatif 5,1 persen,” papar Menkeu saat raker dengan Komisi XI DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/1).
Jika dihitung berdasar yang ikut tax amnesty maka penerimaan migas sebanyak Rp1.104,9 triliun. Namun jika tax amnesty tidak diberlakukan maka penerimaan pajak non migas itu turun menjadi Rp997,9 triliun dari realisasi penerimaan 2015 yang sebesar Rp1.060,8 triliun.
Masalah penurunan ini, kata dia, dipengaruhi oleh dua faktor, pertama, karena perekononian masih lemah di sektor non migas seperti pertambangan dan komoditi. Sehingga belum ada pemulihan dan masih stagnan.
“Kedua, di 2016 lalu banyak kita berikan insentif pajak. Artinya kalau insentif mereka itu tidak bayar pajak. Tapi kami rasa, insentif pajak itu harus selektif dan terukur seperti yang kita desain. Sehingga harus efektif,” kata Menkeu.
“Jadi bukan hanya menghilangkan pajak (insentif), tapi tanpa benefit buat rakyat Indonesia,” imbuh dia.
Untuk itu, dia menegaskan, dengan kondisi yang negatif tersebut, tugas pihak Kementerian Keuangan harus melakukan reformasi pajak. “Dan itu tak bisa ditunda lagi. Baik dari sisi SDM, IT, maupun dari aspek perundang-undangannya,” tandas Menkeu.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh: