Ahli Hukum Pidana Teuku Nasrullah (Soemitro/Aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Ahli Hukum Pidana Teuku Nasrullah mengungkapkan Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP dalam Bab Ketertiban Umum hanya mengatur tentang penistaan atau penghinaan terhadap suatu golongan. Pada KUHP tidak diatur mengenai penistaan dan penghinaan agama secara spesifik.

Dalam prosesnya, setelah muncul permasalahan ditengah masyarakat, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 kemudian memasukkan sub pasal diantara Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP. Yakni dengan diselipkannya Pasal 156a mengenai penistaan dan penghinaan agama.

Berbicara dalam diskusi publik ‘Kasus Ahok Nista Islam dalam Perspektif Hukum Pidana’ yang digelar di Sekretariat Rumah Amanah Rakyat, Jalan Cut Nyak Dien, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (10/11), Nasrullah menyatakan Pasal 156a itu dijadikan rujukan bagi siapa saja yang diduga melecehkan, menghina dan atau menistakan agama.

Dibeberkan bagaimana kasus yang menimpa Arswendo dan pelaku pemberontakan PKI beberapa waktu lalu. Dimana keduanya secara tidak sengaja atau tidak ada niat melecehkan agama namun tetap diputuskan bersalah.

“Ada sebuah pemberontakan PKI di daerah Purwakarta, ada gedung pemerintah dikuasai PKI dan dijarah batang-barangnya, dokumen-dokumen disikat, buku-buku diambil, Alquran diambil, dimasukkan dalam karung dan dipadatkan, ditekan,” ucap Nasrullah.

“Oleh anggota PKI tersebut diinjak-injak, kemudian pelaku yang menginjak-injak itu dilaporkan bahwa dia sudah menginjak-injak Alquran. Nah di pengadilan yang bersangkutan mengatakan sama sekali tidak ada niat tidak ada maksud menghina umat Islam sama sekali. Tujuannya hanya memadatkan karung, tapi dia dihukum,” sambungnya.

Pelaku dihukum karena ada sepatutnya mengetahui bahwa menginjak Alquran dapat mengganggu ketertiban umum. Bab Ketertiban Umum dalam itu diatur dalam Pasal 156. Bukan mengenai penghinaan, penistaan atau melecehkan agama, melainkan ketertiban umum.

Ditambahkan Nasrullah, dalam kasus Arwsendo Atmowiloto pemimpin media Monitor juga diketahui tidak ada niat untuk melecehkan, menghina atau menistakan agama Islam. Sayangnya, polling yang dilakukan Arswendo tidak memisahkan dengan jelas mana manusia biasa dan mana Nabi Muhammad.

“Dicampuradukkan, ada yang bilang Nabi tidak masuk, ada yang bilang suka Nabi Muhammad. Nabi Muhammad di tempat ke-11, Arswendo di tempat 10,” jelas dia.

Arswendo, lanjutnya, berkali-kali sampaikan secara tegas mengatakan tidak punya maksud dan tidak ada unsur kesengajaan menghina Nabi Muhammad SAW. Arswendo hanya mengangkat fakta dari hasil polling yang dilakukannya.

“Dia menjalani empat tahun penjara. Dari dulu-dulu, ketika ada penistaan agama rujukanya kemana? Ke pendapat Majelis Ulama Indonesia,” urai Nasrullah.

Ia melihat dalam menangani kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pihak kepolisian mestinya juga menjadikan MUI sebagai rujukan.

Namun sayangnya, kini keberadaan MUI seolah-olah didegradasikan oleh pihak penegak hukum.

“Saya enggak tahu sekarang, ternyata MUI terdegradasi, agak turun derajatnya, enggak lagi jadi rujukan,” demikian Nasrullah.

MUI sendiri menyatakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menghina Al Quran dan ulama terkait pernyataannya di Kepulauan Seribu pada Selasa, 27 September 2016 lalu. (Selengkapnya: Ahok Hina Al Quran dan Ulama).

Hal ini pun dipertegas pasca Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin, diperiksa Bareskrim Polri terkait kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok.

Ma’ruf menegaskan kepada penyidik bahwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menistakan agama Islam.(Baca: Ketua MUI Pertegas Ahok lakukan Penistaan Agama).

Laporan: Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby